Air matanya menetes perlahan menempa pipinya yang mulus. Dilihatnya
seorang lelaki tampan dengan iris hijaunya yang dapat dikenali bahkan
dari jarak sejauh ini. Perempuan itu menekan dada kirinya kuat-kuat,
seakan dengan cara itu ia dapat mengurangi nyeri di sana. Hatinya serasa
dicabik menjadi serpihan, perasaannya sungguh tak karuan, Batinnya
sakit, raganya lelah, bahkan tak sanggup lagi ia untuk marah.
Lelaki
itu tersenyum. Memberikan sepenuhnya perhatian yang dia miliki untuk
sesosok wanita cantik yang duduk di hadapannya. Tangan mereka saling
menggenggam erat dan tak sekali lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke
arah sang wanita, hanya demi mengecup keningnya. Terkadang sederet gigi
putihnya terlihat dan kedua lesung pipinya menyembul, tanda bahwa lelaki
itu sedang tertawa. Entah menikmati lelucon apa yang sedang diutarakan
wanita yang duduk di depannya.
Krysan mengatur napasnya yang
tersengal, akibat air matanya yang kini mulai mengalir, membentuk aliran
di kedua belah pipinya. Pemandangan yang menyayat hati. Pemandangan
yang membuat dia serasa mati rasa, kebas terhadap cinta. Lelaki bermata
hijau itu adalah kekasihnya, sejak lima tahun lalu sampai mungkin hingga
saat ini. Ia sadar bahwa ia telah dikhianati. Dan sang wanita cantik
yang kini tengah tersenyum dan memandang penuh cinta pada lelaki yang
dicintainya, Krysan mengenalnya. Seperti dia mengenal dirinya sendiri.
Selama
ini dia tak pernah menghiraukan perkataan orang mengenai lelaki dan
sang wanita yang sudah ia kenal lama. Menepis segala bentuk rumor dan
menghalau berita murahan yang menyebutkan adanya affair di antara
mereka. Kali ini Krysan tak lagi dapat mengelak. Bukti nyata ada di
hadapannya. Mungkin ia dulu buta, seperti apa yang dituduhkan
orang-orang kepada dirinya. Ia buta karena cinta. Krysan terlalu buta
dan menyangkal. Dan kini hanya tersisa penyesalan. Kenapa dia tidak
percaya rumor yang beredar dahulu?
Suara dalam hatinya menyuruh
Krysan untuk pulang, tak ada gunanya lagi melihat kemesraan yang
ditunjukkan secara terang-terangan antara lelaki dan wanita itu. Bahkan
mereka kini semakin berani mengumbar kemesraannya, saling bertukar
pandang kasmaran dan suara tawa lembut yang keluar dari bibir mungil
milik sang wanita. Mereka seakan lupa, bahwa kafe yang mereka tempati
kini merupakan tempat pertama Krysan jatuh cinta. Pada lelaki bermata
hijau yang duduk menyendiri di sudut, asyik dengan Inferno di tangannya.
Alih-alih
melangkahkan kaki menuju stasiun terdekat untuk kembali ke flatnya dan
meredakan sakit yang kini menyelibungi seluruh tubuhnya tanpa ampun,
Krysan beranjak dari tempatnya berdiri menuju kafe itu. Mencoba
menghadapi kenyataan dan menerimanya. Ia bukan seorang pengecut yang
takut menghadapi kenyataan, sepahit apapun itu.
Tangannya gemetar
ketika meraih handle pintu kaca. Sempat melihat pantulan dirinya di kaca
tadi, tidak sepenuhnya buruk. Rambut warna mahogany-nya masih rapi,
tergerai melapisi punggungnya yang tak mau tegak semenjak tadi. Hanya
sedikit riasan saja di wajahnya yang luntur akibat air mata, dan dengan
punggung tangan ia mengusap bekas air mata yang mengering di sana. Kedua
sudut bibirnya terangkat naik, maksud ingin tersenyum dan terlihat
setulus yang dibisanya, namun ternyata gagal. Bibirnya enggan untuk
berkompromi lagi sekarang.
Hawa hangat langsung menyergapanya
ketika Krysan sepenuhnya masuk ke dalam kafe itu, berbeda dengan udara
dingin akhir musim gugur yang seakan menusuk tulangnya. Kali ini ia
menghela napasnya dan menghitung sampai hatinya merasa siap dan
melangkah ke arah dua insan yang masih saling menggenggam.
Krysan
berdiri di antara mereka dengan kikuk. Tak sepantasnya dia kikuk seperti
ini, seharusnya wanita cantik inilah yang merasakan rasa gugup saat
melihatnya. Namun kenyatannya, tidak sama sekali. Sang wanita cantik
tersenyum sinis, semakin mengeratkan genggaman tangannya pada lelaki
itu. Sementara sang lelaki merasa tak terganggu sama sekali.
Jantung
Krysan seakan tercabut paksa dari tempatnya demi melihat reaksi dari
kedua orang di hadapannya. Tak ada raut menyesal di wajah mereka. Tak
ada yang memanggilnya, tak ada yang menyuruhnya duduk, tak ada yang
memedulikannya. Air mata kembali turun di pipi Krysan. Dengan kedua
matanya yang memburam akibat air mata, ia dapat melihat sang lelaki
berkata yang segera ia mengerti dari gerak bibirnya. Akhirnya kamu mengetahuinya juga.
Kembali
Krysan meremas dada kirinya, demi mengurang hentakan jantungnya yang
semakin tak terkendali. Matanya menatap sang wanita yang kini berbicara
padanya. Krysan tak sepenuhnya mengerti akibat gerak bibir wanita itu
yang cepat dan tak mampu ditangkap oleh matanyaa. Krysan hanya menatap
mereka bingung, mencoba memahami apa yang terjadi.
Sang lelaki
menggeleng lemah. Lelah karena Krysan tak juga mengerti. Lelah karena
perempuan yang rapuh namun terlihat cantik itu tak pernah memahami.
Krysan tidak buta tentu saja untuk segera menyadari bahwa ada yang salah
di antara dirinya dengan wanita cantik di hadapannya, yang sebenarnya
bukan kesalahan. Lima tahun ia berusaha untuk menerima Krysan sepenuh
hati, namun sosok Krysan yang selalu dibayang-bayangi Jasmine di
belakangnya semakin menggeser posisi Krysan dalam hatinya, terlebih
Jasmine selalu tahu apa yang diinginkannya. Kenapa Krysan bisa sebuta
itu untuk baru menyadari sekarang? Batin pria itu. Ia hanya bisa
membatin, toh jika dia berbicara pun belum tentu Krysan akan mengerti.
Lelaki
itu bangkit dari duduknya setelah sebelumnya melepaskan genggamannya
dengan Jasmine. Tubuhnya ia arahkan ke arah Krysan, memperpendek jarak
di antara mereka agar Krysan dapat mengerti lebih baik apa yang ingin
diucapkannya. Tak lagi ia menggunakan isyarat apapun, karena ia sudah
lelah dengan semua ini. Ia lelah dengan hubungannya dengan Krysan.
Hanya
satu kata yang dapat ditangkap oleh Krysan. Satu kata yang diucapkan
lelaki itu tanpa adanya sorot rasa bersalah dan diucapkannya dengan
sungguh-sungguh. Pulanglah. Satu kata yang dapat dimengertinya
dan dapat dilihatnya dengan baik walau matanya masih buram, karena tak
hentinya air mata keluar dari muaranya. Krysan sempat terdiam sejenak,
tak menyangka bahwa seperti ini rasanya penolakan. Sejak dulu hingga
lima tahun kemarin, ia cukup kebal dengan adanya penolakan dan tatapan
iba dari orang sekitarnya, namun satu hari di lima tahun terakhir, ia
merasakan bahwa ada manusia yang dapat menerimanya, seluruhnya, segala
kekurangan dan kelebihannya. Membangun semangatnya yang porak-poranda,
mengembalikan kepercayaannya. Dan hal itulah yang membuat Krysan berani
mengatakan perasaannya pada lelaki bermata hijau itu. Cinta, yang
diucapkannya dengan terbata dan susah payah.
Krysan berbalik,
memunggungi lelaki yang dicintainya dan wanita cantik yang diakui
sahabat terbaiknya selama ini. Ia berjalan dari kafe itu dengan bahu
lunglai dan wajah yang tak berani ia tengadahkan. Kakinya terasa lemas
untuk dipakai berjalan namun Krysan tak peduli lagi. Benar apa yang
dikatakan lelaki tadi. Ia harus pulang, tempatnya memang bukan di sini. Pulanglah. Pulanglah.
***
Malam
mulai merangkak naik sementara Krysan masih bergelung di atas sofa
empuk berwarna gading. Masih menangis walau tanpa suara. Masih merasakan
perih akibat penolakan dari kedua manusia yang dicintainya selama ini.
Namun suara bel berbunyi yang berasal dari depan flatnya memaksanya
untuk bangun. Dan betapa terkejutnya ketika ia melihat lelaki bermata
hijau yang dicintainya berdiri di sana. Memunculkan harapan demi harapan
yang tadi sempat terkubur dalam-dalam. Namun raut wajah lelaki itu
menampakkan rasa yang dikiranya tak akan pernah memancar dari wajah
lelaki itu. Rasa iba dan kasihan.
Ia menggenggam tangan Krysan
yang rapuh, yang selalu membuat debar jantung Krysan menghentak
bertalu-talu. Tak sampai sedetik, lelaki itu melepaskan genggamannya.
Sebagai gantinya ia memberikan Krysan sepucuk surat beramplop biru muda,
warna kesukaannya. Dahinya tertaut, tak mengerti dan mencoba mencari
kejelasan di mata hijau yang kini tengah memandangnya. Bibir lelaki itu
bergerak, mengucapkan sesuatu yang dapat Krysan mengerti dan memangkas
habis harapan-harapan yang tadi sempat timbul. Maaf. Dan lelaki itupun pergi dari hadapannya.
Sekuat
tenaga Krysan mencoba untuk tetap berdiri walau rasanya ia tak mampu
lagi menopang berat tubuhnya. Dengan gemetar Krysan menutup pintu
flatnya dan kembali meringkuk di atas sofa. Sebuah surat. Penjelasan.
Lelaki itu lelah menjelaskan dan berharap dengan sepucuk surat Krysan
dapat mengerti.
Dear Krysan,
Aku
minta maaf karena meninggalkanmu seperti ini. Kau begitu cantik dan
luar biasa, namun aku menyadari bahwa itu saja tak cukup untuk membangun
sebuah keluarga yang bahagia. Kamu sempat hadirkan cinta. Yang pada
awalnya kurasa itu untukmu, namun dengan berjalannya waktu ternyata
cinta yang telah kau tanamkan dalam diriku, harus kubagi dengan orang
lain. Aku harus memilih Krysan, dan aku minta maaf, aku memilih orang
lain.
Terimakasih karena berkat dirimu
aku merasa memiliki semangat dan mensyukuri kehidupanku.Terimakasih
karena dengan dirimu di sisiku, mengembalikan satu rasa yang dulu sempat
tiada. Semoga kau segera menemukan kebahagiaanmu.
Yang Selalu Menyanyangimu,
Andrew Garlich
Air
mata membasahi surat tersebut, membuat huruf-hurufnya mengabur dan tak
dapat dibaca lagi. Namun Krysan rasa itu sudah tidak perlu. Cintanya
sudah habis untuk lelaki bermata hijau itu dan rasanya ia tak sanggup
lagi untuk mencintai. Krysan menyadari bahwa lelaki itu pasti
lelah berkomunikasi dengan wanita seperti dirinya, yang tidak sempurna
bila dibandingkan dengan Jasmine, sahabatnya. Mungkin Andrew lelah
dengan bahasa isyarat yang selalu ia gunakan ketika mengobrol dengan
Krysan dan maksud pembicaraan yang kadang telat dicerna akibat
keterbatasannya. Krysan sadar sepenuhnya dan ia harus belajar merelakan.
Cintanya bukan untuknya.
***