Minggu, 26 Agustus 2012

Back To The Past [Assrianti]

Tiga
Pria dihadapanku tersenyum. Tangannya terbuka lebar siap menyambut kedatanganku. Ingatanku melambung jauh, terpental ke masa tiga tahun silam saat aku baru pertama kali menginjakkan kaki di kota yang terkenal dengan sebutan kota hujan.
            “Jasmine?” tanya sesosok pria gondrong di hadapanku waktu itu. Wajahnya sebenarnya tampan, tetapi penampilannya urakan sekali. “Ya itu aku, kamu Gesa?” ucapku balas bertanya. Pria itu mengangguk seraya tersenyum memamerkan sederetan gigi putihnya.
            Welcome to Bogor, Jasmine. Siap dengan tour kita hari ini?” ucapnya lagi dengan nada ceria.
            “Ya, tentu saja,” jawabku tak kalah ceria.
***
“Apa kabar Jasmine? Aku sedikit pangling melihat kamu,” sapa Gesa sumringah. 
“Aku baik Ges, kamu apa kabar? Tiga tahun nggak ketemu, banyak yang berubah dari kamu.” ucapku sedikit salah tingkah. Gesa tertawa. Kemudian belagak sibuk mengambil barang bawaanku yang dibawanya dengan tangan kanan, sementara di tangan kirinya ada tangan kecil yang sedari tadi menggantungkan dirinya pada Gesa.
***
Gesa menunjukan padaku indahnya kota hujan ini. Berpiknik ke Kebun Raya, melihat indahnya bunga bangkai, menjelaskan asal usul dibuatnya Istana Bogor. Gesa juga membawaku ke dunia fotografinya. Menjadikan aku sebagai model dadakannya. Gesa tentu saja bukan sekedar guide bagiku, dia adalah, entahlah, hubungan kami begitu dekat sampai Gesa menyatakan cintanya padaku sebelum aku menaiki kereta yang akan membawaku pergi meninggalkannya. Tetap tinggallah di sini Jasmine, aku mencintaimu.
***
Anak kecil itu merengek pelan, bosan karena mobil yang dikemudikan Gesa tidak berjalan akibat macet. Ingin diriku untuk membantu menenangkannya tapi rasa hati ini masih tak sanggup untuk melakukanya. Kami bukan menjadi dua lagi, tapi tiga, dengan kehadiran balita mungil ini yang harus aku terima.
***
Kereta yang akan membawaku pergi berangkat lima menit lagi. Aku bimbang, perasaanku bergejolak tak karuan. Masih teringat jelas kata-kataku tadi sebelum Gesa berbalik arah dan menghilang dari pandanganku. Maafkan aku Gesa. Aku tidak mencintaimu.
***
Aku meraih tangan mungil yang menggapai-gapai ke arah ayahnya. Sedetik kemudian penolakan itu muncul. Kali ini anak kecil itu tak lagi merengek, ia bahkan menangis kencang. Merasakan bahwa yang memeluknya kini bukan ayahnya, bukan pula ibunya yang tak pernah ia temui. Aku semakin mendekap erat anak itu dalam pelukan, mengusap-usap punggungnya lembut dan menyanyikan lagu nina bobo untuknya agar ia tertidur. Kenzou menurut. Pelan-pelan suara tangisannya mengecil lalu menghilang. Gerakan protes tubuhnya pun berhenti. Tubuh kecilnya tergolek tak berdaya di pangkuanku. Ku amati wajahnya yang lucu, mirip sekali dengan Gesa, tapi hidungnya, ah, aku yakin itu hidung ibunya.
            “Terima kasih Jasmine,” ujar Gesa tersenyum tulus ke arahku. Mobil benar-benar tak bisa berjalan, jadi dia bebas untuk menoleh ke arahku yang duduk di kursi belakang tanpa takut akan terjadi kecelakaan.
            “Aku akan berusaha Gesa, untukmu, untuk Kenzou, untuk kita, karena aku mencintaimu,” kataku. Gesa mengulurkan tangannya membelai wajahku, kemudian dengan segenap hati ia mencium keningku. Ditatapnya wajah Kenzou yang terlihat bak malaikat saat tertidur seperti ini.
            “Jasmine akan menjadi mama yang baik untukmu, aku percaya itu...”
***
Aku memutar arah tak jadi menaiki kereta. Ku berlari sekencang mungkin dan tambah kencang saat sosok yang ku kenal berjalan lunglai menuju pintu keluar. Tubuhku bertubrukan dengan punggungnya yang keras bagai batu granit. Dan memeluknya dari belakang dengan sepenuh hati.
            “Aku mencintaimu Gesa. Tunggu aku tiga tahun lagi...”
                                                                             ***