Selasa, 19 Juni 2012

Radio


"I'm at a payphone trying to call home, All of my change I spent on you, Where have the times gone, baby it's all wrong, Where are the plans we made for two? ..."

Suara Adam Levine mengalun dari radio FM yang setiap pagi kudengarkan. Hanya suara radio dan penyiar yang asyik bercuap-cuap di udara yang selalu menemaniku membuat teh dan menyiapkan telur sapi setengah matang untuk dia.

Dia yang masih terlelap di kamarnya. Mungkin masih berselimut, dengan guling dan bantal-bantal besar yang berantakan di sekitarnya. 

"Don't worry there my honey, We might not have any money, But we've got our love to pay the bills..."


Suara Adam Levine tergantikan oleh Ingrid Michaelson. Seperti kemarin dan kemarin lalu kemarinnya lagi, radio yang selalu memutar lagu ini di menit ini, pas dengan waktuku menuangkan segelas orange jus ke dalam gelas tinggi untuknya. Dia yang masih terlelap dalam kamarnya.

Waktu menunjukkan pukul 07.00. Sudah saatnya dia dibangunkan. Hal ini adalah hal yang paling membuatku kikuk setengah mati. Bagaimana tidak? Aku dipaksa memasuki kamarnya, teritori pribadinya, yang bahkan sahabatnya sendiri tidak diperkenankan masuk ke dalamnya. Tapi dia menghendakiku untuk masuk, dan selalu menungguku untuk membuka tirai-tirai panjang yang menutup jendela kamarnya dan membiarkan sinar matahari masuk untuk menyinarinya. 

Entah harus kusebut ini keberuntungan atau kesialan karena setiap tanganku yang gemetar hebat ini membuka pintu kamarnya, melihatnya terlelap dengan raut wajah yang sangat damai, sangat berbeda saat ia kemudian membuka kedua kelopak matanya dan selalu menatapku dengan pandangan yang sama setiap harinya. Pandangan yang membuat perutku bergejolak tak karuan.

"Selamat pagi..." sapaku sambil tersenyum. Dua tirai besar telah kusingkapkan. Seketika sinar matahari yang masih lumayan bersahabat menerobos masuk, membuatku sedikit terpana ketika sinar itu membentur tubuhnya yang masih berbalut selimut. 

Aku mengitari sisi tempat tidurnya yang super besar, tak aneh bila kutemukan kemeja dan celana panjang yang sepertinya diletakkan sengaja di dekat nakas. Aku meraihnya, pakaiannya tetap wangi, tetap bersih walau terlihat agak kusut.

"Kamu mau turun untuk sarapan?" tanyaku. 
Kali ini ia menegakkan tubuhnya dan bersandar di tempat tidur. Tangannya menggapai kaca mata yang diletakkan di nakas.

"Sebenarnya aku masih mau tidur, tadi malam aku capek sekali," jawabnya sambil tersenyum.

"Kamu harus ke kantor kan? Aku nggak tanggung akibatnya kalau Mama sampai tahu kamu terlambat demi hobi tidur kamu ini,"

Pria itu tergelak.

Ia turun dari tempat tidurnya, masih mengenakan kaca mata, celana pendek hitam, dan kaos oblong putih yang menjadi kostum tidurnya selama ini.

"Kamu bikin sarapan apa?" tanyanya sambil berjalan ke luar dari kamar, membiarkan aku tertinggal di belakang untuk menutup pintu kamarnya.

"Hari ini hari Rabu kan? Aku cuma buat telur dan orange jus, kalau kamu mau yang lain nanti aku buatkan," jawabku sambil setengah berlari menuju ruang laundry dan menaruh pakaiannya ke dalam mesin cuci kemudian menghampirinya yang sedang meminum teh milikku.

"Aku bilang sarapan kamu orange jus dan telur kan? Kok kamu minum teh punyaku?" tanyaku sambil tersenyum.

"Memangnya nggak boleh?" Ia malah balik bertanya. Ah mana bisa aku melarang dia macam-macam.

"Tentu saja boleh, cuma aku nggak tahu aja kalau kamu suka teh. Sejak kapan? Tiga bulan aku di sini kamu selalu minum orange jus,"

"Sejak aku lihat kamu meniup teh panas di cangkir itu, setiap pagi saat aku meneguk orange jus dan kamu asyik sama cangkir kamu..."

Aku tersenyum, dia baik sekali. Aku suka caranya dalam memperlakukanku, atau yang lainnya. Ia tidak pernah membedakan.


"You'll always be part of me, i'm part of you, indefinitely, Boy don't you know you can't escape, ouh baby cause you're always be my baby..."


Kali ini suara indah Mariah Carey yang mengalun menyanyikan lagu favoritku. 

"Masih dengar lewat radio?" tanyanya disela-sela aktivitas sarapannya.

"Iya. Kenapa? Kamu sering banget tanya hal itu sama aku.."

"Heran aja, masih ada yang denger radio padahal..."

"Padahal eksistensinya di zaman ini sudah berkurang, begitu kan maksud kamu?"
Ia mengangguk, kemudian menatapku penuh minat dibalik kaca matanya. Menunggu argumenku. 

"Aku suka dengar radio, aku suka dengar penyiar yang cuap-cuap di sana. Kadang, ada pendengar yang sengaja telepon ke radio itu sekedar mengucapkan selamat pagi atau kirim-kirim salam. Kamu tahu itu nggak?" 

"Aku tahu itu, dan surprise kalau sekarang hal itu masih dilakukan orang,"
"Seharusnya kita berterimakasih sama orang-orang itu,,"

"Kenapa bisa begitu?"

"Coba kamu bayangkan, kalau nggak ada orang-orang itu, dunia radio kita akan semakin terpuruk dong. Bisa-bisa udah nggak ada yang mau dengar radio lagi gara-gara siarannya yang terlalu pasif dan lambat-lambat bisa aja siaran radionya ikutan hilang. Kalau begitu, aku mau dengar apa dong setiap pagi?"

Pertanyaanku retoris dan agak bercanda. Apa aku salah sehingga ia menatapku serius sekali? Kedua alis hitamnya terpaut, menimbulkan kerutan di tengah-tengah keningnya. 

"Aku salah bicara? Aku minta maaf,,," ujarku merasa tak enak. Ku lihat raut wajahnya berubah lagi.

"Kamu dengar aku aja.." balasnya cuek. Ia menegak orange jusnya hingga tandas.

"Dengar kamu tidur maksudnya?" Aku tertawa.

"Bukan. Dengar aku nyanyi setiap pagi, lagu favorit kamu, anggap aja aku radio,,"

Dadaku terasa sesak, bukan jawaban seperti itu yang aku harapkan keluar dari bibirnya. Ini membuat kepalaku sedikit pusing. Perasaan yang kutahan-tahan sejak pertama aku menginjakkan kaki di rumah ini dan memulai rutinitas dengan membangunkannya setiap pagi perlahan-lahan bermunculan. Tidak boleh ada perasaan ini. Perasaan yang dapat membuatku terhempas dan sakit hati karena kenyataan.

Ini bukan percakapan yang biasa antara seorang pembantu dengan majikannya. Ini terlalu indah. Tuhan, bolehkah aku mengatakan iya kepada pria dihadapanku ini?

"Kamu nggak mau?" tanyanya lagi dengan mimik paling serius yang pernah ku lihat.

"Iya. Aku mau. Mau sekali..." susah payah kerongkonganku mengeluarkan suara dan akhirnya jawaban itu yang aku berikan.

Ampuni aku yang lancang ini Tuhan, tak seharusnya perasaan ini tumbuh, karena aku tak layak. Pria ini terlalu baik, terlalu sempurna, terlalu jauh untuk ku gapai, tapi aku terlalu cinta.

Cinta itu perasaan paling jujur yang pernah ada. Dan kini, biarkan aku menikmatinya. Sebentar saja...

Bogor, 19 Juni 2012
08.22 AM