"I'm at a payphone trying to call home, All
of my change I spent on you, Where have the times gone, baby it's all
wrong, Where are the plans we made for two? ..."
Suara Adam Levine mengalun dari radio FM yang setiap pagi kudengarkan. Hanya suara radio dan penyiar yang asyik bercuap-cuap di udara yang selalu menemaniku membuat teh dan menyiapkan telur sapi setengah matang untuk dia.
Dia
yang masih terlelap di kamarnya. Mungkin masih berselimut, dengan guling dan
bantal-bantal besar yang berantakan di sekitarnya.
"Don't
worry there my honey, We might not have any money, But we've got our love to
pay the bills..."
Suara Adam Levine tergantikan oleh Ingrid Michaelson. Seperti kemarin dan kemarin lalu kemarinnya lagi, radio yang selalu memutar lagu ini di menit ini, pas dengan waktuku menuangkan segelas orange jus ke dalam gelas tinggi untuknya. Dia yang masih terlelap dalam kamarnya.
Waktu
menunjukkan pukul 07.00. Sudah saatnya dia dibangunkan. Hal ini adalah hal yang
paling membuatku kikuk setengah mati. Bagaimana tidak? Aku dipaksa memasuki
kamarnya, teritori pribadinya, yang bahkan sahabatnya sendiri tidak
diperkenankan masuk ke dalamnya. Tapi dia menghendakiku untuk masuk, dan selalu
menungguku untuk membuka tirai-tirai panjang yang menutup jendela kamarnya dan
membiarkan sinar matahari masuk untuk menyinarinya.
Entah
harus kusebut ini keberuntungan atau kesialan karena setiap tanganku yang
gemetar hebat ini membuka pintu kamarnya, melihatnya terlelap dengan raut wajah
yang sangat damai, sangat berbeda saat ia kemudian membuka kedua kelopak
matanya dan selalu menatapku dengan pandangan yang sama setiap harinya. Pandangan yang membuat perutku bergejolak tak karuan.
"Selamat
pagi..." sapaku sambil tersenyum. Dua tirai besar telah kusingkapkan.
Seketika sinar matahari yang masih lumayan bersahabat menerobos masuk,
membuatku sedikit terpana ketika sinar itu membentur tubuhnya yang masih
berbalut selimut.
Aku
mengitari sisi tempat tidurnya yang super besar, tak aneh bila kutemukan kemeja
dan celana panjang yang sepertinya diletakkan sengaja di dekat nakas. Aku
meraihnya, pakaiannya tetap wangi, tetap bersih walau terlihat agak kusut.
"Kamu
mau turun untuk sarapan?" tanyaku.
Kali
ini ia menegakkan tubuhnya dan bersandar di tempat tidur. Tangannya menggapai
kaca mata yang diletakkan di nakas.
"Sebenarnya
aku masih mau tidur, tadi malam aku capek sekali," jawabnya sambil
tersenyum.
"Kamu
harus ke kantor kan? Aku nggak tanggung akibatnya kalau Mama sampai tahu kamu
terlambat demi hobi tidur kamu ini,"
Pria
itu tergelak.
Ia
turun dari tempat tidurnya, masih mengenakan kaca mata, celana pendek hitam,
dan kaos oblong putih yang menjadi kostum tidurnya selama ini.
"Kamu
bikin sarapan apa?" tanyanya sambil berjalan ke luar dari kamar,
membiarkan aku tertinggal di belakang untuk menutup pintu kamarnya.
"Hari
ini hari Rabu kan? Aku cuma buat telur dan orange jus, kalau kamu mau yang lain
nanti aku buatkan," jawabku sambil setengah berlari menuju ruang laundry
dan menaruh pakaiannya ke dalam mesin cuci kemudian menghampirinya yang sedang
meminum teh milikku.
"Aku
bilang sarapan kamu orange jus dan telur kan? Kok kamu minum teh punyaku?"
tanyaku sambil tersenyum.
"Memangnya
nggak boleh?" Ia malah balik bertanya. Ah mana bisa aku melarang dia
macam-macam.
"Tentu
saja boleh, cuma aku nggak tahu aja kalau kamu suka teh. Sejak kapan? Tiga
bulan aku di sini kamu selalu minum orange jus,"
"Sejak
aku lihat kamu meniup teh panas di cangkir itu, setiap pagi saat aku meneguk
orange jus dan kamu asyik sama cangkir kamu..."
Aku
tersenyum, dia baik sekali. Aku suka caranya dalam memperlakukanku, atau yang
lainnya. Ia tidak pernah membedakan.
"You'll
always be part of me, i'm part of you, indefinitely, Boy don't you know you
can't escape, ouh baby cause you're always be my baby..."
Kali ini suara indah Mariah Carey yang mengalun menyanyikan lagu favoritku.
"Masih
dengar lewat radio?" tanyanya disela-sela aktivitas sarapannya.
"Iya.
Kenapa? Kamu sering banget tanya hal itu sama aku.."
"Heran
aja, masih ada yang denger radio padahal..."
"Padahal
eksistensinya di zaman ini sudah berkurang, begitu kan maksud kamu?"
Ia
mengangguk, kemudian menatapku penuh minat dibalik kaca matanya. Menunggu
argumenku.
"Aku
suka dengar radio, aku suka dengar penyiar yang cuap-cuap di sana. Kadang, ada
pendengar yang sengaja telepon ke radio itu sekedar mengucapkan selamat pagi
atau kirim-kirim salam. Kamu tahu itu nggak?"
"Aku
tahu itu, dan surprise kalau sekarang hal itu masih dilakukan orang,"
"Seharusnya
kita berterimakasih sama orang-orang itu,,"
"Kenapa
bisa begitu?"
"Coba
kamu bayangkan, kalau nggak ada orang-orang itu, dunia radio kita akan semakin
terpuruk dong. Bisa-bisa udah nggak ada yang mau dengar radio lagi gara-gara
siarannya yang terlalu pasif dan lambat-lambat bisa aja siaran radionya ikutan
hilang. Kalau begitu, aku mau dengar apa dong setiap pagi?"
Pertanyaanku
retoris dan agak bercanda. Apa aku salah sehingga ia menatapku serius sekali?
Kedua alis hitamnya terpaut, menimbulkan kerutan di tengah-tengah
keningnya.
"Aku
salah bicara? Aku minta maaf,,," ujarku merasa tak enak. Ku lihat raut
wajahnya berubah lagi.
"Kamu
dengar aku aja.." balasnya cuek. Ia menegak orange jusnya hingga tandas.
"Dengar
kamu tidur maksudnya?" Aku tertawa.
"Bukan.
Dengar aku nyanyi setiap pagi, lagu favorit kamu, anggap aja aku radio,,"
Dadaku
terasa sesak, bukan jawaban seperti itu yang aku harapkan keluar dari bibirnya.
Ini membuat kepalaku sedikit pusing. Perasaan yang kutahan-tahan sejak pertama
aku menginjakkan kaki di rumah ini dan memulai rutinitas dengan membangunkannya
setiap pagi perlahan-lahan bermunculan. Tidak boleh ada perasaan ini. Perasaan
yang dapat membuatku terhempas dan sakit hati karena kenyataan.
Ini
bukan percakapan yang biasa antara seorang pembantu dengan majikannya. Ini
terlalu indah. Tuhan, bolehkah aku mengatakan iya kepada pria dihadapanku ini?
"Kamu
nggak mau?" tanyanya lagi dengan mimik paling serius yang pernah ku lihat.
"Iya.
Aku mau. Mau sekali..." susah payah kerongkonganku mengeluarkan suara dan
akhirnya jawaban itu yang aku berikan.
Ampuni
aku yang lancang ini Tuhan, tak seharusnya perasaan ini tumbuh, karena aku tak
layak. Pria ini terlalu baik, terlalu sempurna, terlalu jauh untuk ku gapai,
tapi aku terlalu cinta.
Cinta
itu perasaan paling jujur yang pernah ada. Dan kini, biarkan aku menikmatinya.
Sebentar saja...
Bogor,
19 Juni 2012
08.22 AM
Haha bgs ci crita nya ada kejutan di akhir nya truusss so sweeeeeett bgt bisa bgt lo nulis kisah percintaan dr td yg gw baca imajinasi lo ekspert bgt ci soal cinta2 kya gini desi yg mantan nya 20 lbh lewat dah haha oyaaa smoga lo cepet jadian ya sma majikan lo
BalasHapusAww thank you yaa!!
HapusHAA maksudnya apa supaya gue bisa jadian ama majikan gue???!!! #drama
Jatuh hati banget sama kata-kata terakhirnya!! :*
BalasHapus"Cinta itu perasaan paling jujur yang pernah ada. Dan kini, biarkan aku menikmatinya. Sebentar saja..."
cerita kayanya harus di sambung cerita 'flash back'si cewek dan cowok itu. Supaya akyu mengerti hubungan mereka seberenya tu kaya apah. Hhehe
hahaaa..
BalasHapusgw ga pernah nyangka kalo itu ternyata pembantu sama majikannya..
bagus cii bagus..
"Ampuni aku yang lancang ini Tuhan, tak seharusnya perasaan ini tumbuh, karena aku tak layak. Pria ini terlalu baik, terlalu sempurna, terlalu jauh untuk ku gapai, tapi aku terlalu cinta."
Anonim 1: Waw, really appreciate it. Thank you so mucho muchoo ya. Flash back? hmmm :p
BalasHapusAnonim 2: Thank youuu. Berhasil juga bikin ending yang unpredictable :))