Kamis, 31 Mei 2012

Lari (4)



Pangkal kakiku terasa nyeri sekali. Aku menunduk untuk menjangkaunya sehingga dapat mengurutnya pelan-pelan. Setidaknya ini adalah cara agar sakit dan nyeriku dapat sedikit hilang dan cara agar orang-orang di sekitarku tidak menatapku heran, seperti aku ini makhluk dari dimensi astral. Aku sadar, wajahku mungkin sangat-amat-tidak enak dilihat. Dengan mata bengkak, hidung merah, riasan wajah yang entah melebar kemana, baju yang kusut, ditambah rambut yang awut-awutan. Aku mungkin bukan terlihat seperti makhluk astral, tapi orang gila, yang lebih gilanya lagi berani memasuki tempat seramai ini.
Tempat ini masih sama ketika aku memperhatikannya sejak tadi. Ramai oleh pengunjung yang sibuk dengan gelas kertas plus kepulan asap wangi aroma kopi yang tersebar di penjuru ruangan. Aku memilih duduk di kursi kayu minimalis yang terletak persis di samping jendela. Di sebelahnya taman bunga kecil nan cantik terhampar, mawar-mawarnya terlihat anggun akibat bantuan lampu tamannya yang temaram sama seperti di ruangan ini. Ku dongakkan kepala, sedikit takut sekaligus malu karena keadaan wajahku sekarang, dan apa yang kulihat benar-benar membuat hatiku sedikit lega.
Tidak ada yang memperhatikanku, tidak ada yang menatapku heran, tidak ada yang berbisik-bisik sambil mendelik ke arahku, tidak ada yang aneh, mungkin tidak ada juga yang menyadari kehadiranku saat ini.
“Heran ya?” tanya sebuah suara mengagetkanku. Otomatis kepalaku langsung mencari sumber suara tersebut. Dia di depanku.
“Baru pertama kali ke sini kan?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. Ia tersenyum, kedua lesung pipinya muncul.
“Kenalin, saya Javas Kastara.” Lelaki itu mengangsurkan tangannya. Sempat terpana beberapa detik, akhirnya aku menyambut ulurannya. Merasakan genggamannya yang begitu hangat dan akrab. Seperti kawan lama padahal aku baru bertemu dengannya di sini.
“Aku, Alila,” balasku kikuk. Tubuhku tiba-tiba menggigil. Termakan habis oleh angin malam yang menembus lapisan kaca di sampingku. Hangatnya cafe ini sedikit demi sedikit kian terkikis, terlebih dengan sesosok makhluk yang sedari tadi diam memandangiku. 
“Kamu mau pesan apa?” tanyanya setelah diam kami yang begitu lama. Bibirnya membentuk senyuman. Aku tergeragap karena terlalu fokus memperhatikan wajahnya yang anehnya dapat menghangatkan. Ini terlalu cepat Al. Kau tidak bisa untuk…
“So, Alila?”
Oh aku benar-benar malu sekarang.
“Espresso. Double Espresso.” jawabku tergugu. Lagi-lagi ia tersenyum sambil bangkit berdiri menuju counter.
***
Coffee Shop yang entah-apa-namanya yang tak sengaja kudatangi ini, memang berbeda dari nuansa cafe kebanyakan. Konsep ruangannya seakan membuatmu terpelanting jauh menembus waktu. Jauh dari kemodern-an, dari segala tetek bengek teknologi zaman sekarang, dari tante-tante centil yang terkikik penuh gosip di sudut ruangan, dari segerombolan anak remaja yang berdandan dewasa meminta menjadi pusat perhatian.
Ruangannya tidak begitu besar, hanya cukup untuk sepuluh pasang kursi kayu yang di tata monoton di bagian kiri dan kanan ruangan persegi, dan satu set sofa cokelat di bagian sudut. Uniknya cafe ini selain mengusung tema vintage indoor, tetapi ada juga kursi-kursi yang di tata apik di luar ruangan. Di letakkan di samping lampu taman cantik, di sebelah bougenville putih yang berbunga, di dekat kolam ikan koi dengan air terjun buatan yang terdengar bergemericik menenangkan.
Setiap orang memiliki kesibukannya masing-masing. Ada yang bercengkrama santai dengan lawan bicaranya, ada yang duduk termenung di sudut taman sendirian, ada yang serius membaca buku. Semua orang seperti asyik dengan dunianya, tidak ada mata yang jelalatan mencari seuntai gosip yang siap untuk disebarkan sesama golongan. 
“Semua orang punya dunianya masing-masing.” Sebuah suara mengagetkanku. Dua gelas kertas kopi diletakkannya di atas meja kayu bundar yang memisahkan kami. Asapnya menyatu, membaui indra penciumanku. Nyaman sekali.
“Itu alasan aku senang dengan tempat ini,” lanjutnya sambil menyesap kopinya dalam dan nikmat.
“Kenapa kamu pesan espresso?” tanyanya. Ia serius memandangiku. Menanti jawaban yang seperti menarik baginya untuk tahu.
“Espresso itu masih murni. Asli dan pahit.” jawabku seadanya. Aku mulai menyesap cairan hitam pekat itu. Double espresso yang pahit, sekaligus manis, penuh sensasi, menghangatkan, dan memberikan kenyamanan. Andai ia tahu alasan yang sebenarnya. Ararya memberikan kepahitan itu sekaligus rasa manis yang terkecap buih demi buih. Ia yang memilih, bukan aku. Tapi tidak mungkin aku mengatakan hal sejujur ini kepada orang yang baru dikenal bukan?
“Aku pesan espresso juga, seperti kamu. Penasaran dengan sensasi-nya,” ujarnya. Matanya lurus menghunjam mataku.
“Sensasi?” tanyaku bingung.
“Melihat kamu datang ke sini, dengan keadaan seperti itu, aku nggak heran kamu pesan espresso. Bukan maksudku untuk ikut campur urusan kamu atau apa, tapi, kamu yang menggerakkan kaki ini untuk melangkah mendekat ke arahmu,” Javas tertawa kecil. 
“Bukan gayaku untuk tiba-tiba datang seperti penganggu dan berkenalan denganmu seperti remaja laki-laki yang sedang puber, tapi kamu begitu magnetis. Membuatku penasaran yang akan mati jika kubunuh sendiri dengan memesan espresso sama sepertimu, dan meminumnya dengan menatap wajahmu.” Kembali ia menyesap espressonya. Otakku sedang lambat diajak berpikir macam-macam. Dan sel-selnya menolak untuk menginterpretasikan makna ucapan Javas barusan.
“Maaf, tapi aku nggak mengerti,” kataku jujur.
“Ini masalah hati bukan?” tanyanya telak. Oh yang benar saja, baru saja aku berkenalan dengan orang ini dan ia sudah bertanya macam-macam kepadaku.
“Itu bukan urusanmu!” jawabku ketus. Ku arahkan wajahku ke taman mawar samping jendela. Enggan menatap lelaki ini.
“Memang bukan, tapi yang seperti aku ucapkan tadi. Kamu begitu magnetis. Menarikku ke dalam pusaranmu dan membuatku berkubang disitu. Kamu satu-satunya yang membuatku meninggalkan sofa yang selalu ku tempati saat aku mengunjungi cafe ini dan memilih duduk di sini. Jangan tanya apa alasannya, karena aku sendiri tidak mengetahuinya.” Ia menandaskan espressonya. Terdiam cukup lama. Aku sendiri anehnya tidak merasa terganggu dengan keberadaannya dan tidak ada niatan sedikitpun untuk mengenyahkan bayangannya dari hadapanku. 
Sejujurnya aku terpesona. Sedari awal ia mendekatiku mengajak berkenalan. Wajahnya dipahat indah oleh Sang Pencipta. Siapa yang tega menolak? Ia salah kalau menganggap aku begitu magnetis bagi dirinya. Karena sebenarnya ia sumber magnetnya. Menarik setiap pasang mata untuk terus menatap replika Dewa Yunani yang tekun memandangi wajahku dalam kosong katanya. Aku seharusnya sadar, semua di cafe ini memang tidak saling memperhatikan satu sama lain karena semua sibuk dengan dunianya masing-masing, tetapi ketika Javas beringsut dari tempat duduknya untuk memesankan espresso di counter, tidak ada sepasang matapun yang lewat tak menatapnya. Entah tatapan apa yang mereka lontarkan, antara heran sekaligus terpukau? 
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar