Kamis, 31 Mei 2012

Lari (3)

“Pulang?” tanyanya seolah tidak percaya. Hembusan angin malam semakin membuatku kedinginan.
“Iya, pulang ke kehidupanku sebelum aku ketemu kamu,” jawabku masih menatap Coffee Shop yang kian ramai. Orang hilir mudik ke luar dan masuk tempat itu. Masing-masing memegang gelas kertas yang ditengahnya terdapat logo Coffee Shop tersebut. Ada kehangatan yang ditawarkan di sana. Setidaknya itu pilihan terbaik saat ini.
“Maksud kamu? Aku semakin nggak ngerti Al..”
“Aku udah bilang Ar, kalau hubungan ini salah. Kita sama-sama salah. Aku cuma nggak ingin memperburuk keadaan. Kasihan Rose,” ucapku pilu. Bagaimana tidak? Aku menyebut namanya. Nama wanita yang menghantui pikiranku dua tahun ini. Seorang wanita cantik yang ku kenal dekat, bahkan sempat bersahabat, sebelum dia mengetahui segalanya. Sebelum segalanya menjadi hancur berantakan.
Pria di depanku terdiam. Genggamannya semakin melonggar kemudian melepaskannya dengan hati-hati. Hanya mendengar namanya saja ia beringsut. Menjauh sedikit dari hadapanku. Aku beranikan untuk menatap wajahnya yang ternyata pemilik wajah ini tak lagi menatapku seperti tadi. Ada sinar ketakutan, kebingungan, sekaligus kerinduan di sana. Lihat Ar, masih ada rindu itu di matamu. Masih ada. 
Aku capek Ar, capek dengan semua ini. Kamu tahu Ar, bukan hanya Rose yang harus aku hadapi, tapi mungkin juga keluarganya. Aku ingin mengehentikan ini,” sambungku. Teriris sendiri oleh kata-kata yang ku lontarkan barusan.
“Aku cinta kamu, Alila.. Sungguh..”
Kata-kata itu hangat, menyentuh relungku yang mulai terkikis satu persatu. Kembali ia menyeruak, meminta sedikit celah agar bisa masuk ke dalam, membuat satu harapan baru setelah yang lama hancur terkoyak.
“Tapi kamu juga cinta dengan Rose,”
Hanya itu yang mampu ku ucapkan. Sangat berat. Dadaku kembali sesak hebat. Air mataku tumpah saat itu juga.
Pria itu kini balas menatapku, wajahnya penuh kebimbangan, frustasi. Ingin rasanya aku memeluk dan mengusap puncak kepalanya seperti yang sering aku lakukan dua tahun ini. Saat malam mulai menguasai, saat itu juga ia berada dalam kehidupanku seutuhnya. Tapi hal itu tak dapat aku lakukan. Badan ini terlalu lemah untuk melangkah dan egoku lebih besar untuk berkata,Jangan!
“Aku nggak cinta dia Al,” ujarnya seperti tercekik.
“Kamu cinta dia Ar, semenjak kamu menutupi semua kegiatan kamu dengan dirinya dari aku, semenjak kamu yang lebih sering sibuk dengan telepon genggam kamu, semenjak kamu yang sering tertawa, melamun sendiri di balkon apartemen kita, semenjak kamu nggak pernah lagi meluk aku dari belakang seperti yang kamu biasa lakukan, semenjak kamu mulai milih-milih model rumah impian kamu, semenjak kamu berkhayal jadi ayah, semenjak kamu bercita-cita untuk punya anak perempuan, semenjak kamu….”
“STOP!! Alila, please STOP IT!!! Aku nggak mau dengar itu lagi!” bentaknya sempat membuatku terperangah. Aku tersenyum atau lebih tepatnya dikatakan menyeringai, tampak seram dengan air mata yang tak henti turun demi menemukan muaranya sendiri.
“Aku salah Ar? Bilang kalau aku salah?!!” kataku dengan nada yang kunaikkan sedikit. Pria di depanku terpaku. Wajahnya tiba-tiba menjadi sangat abstrak.
“Untuk apa kamu pertahankan ini semua kalau akhirnya kamu juga yang akan meninggalkan? Untuk apa kamu susah-susah kejar aku kalau kamu juga yang akan berlari? Untuk apa kamu bilang cinta kalau rasa itu sendiri sudah memudar?” sambungku lagi diselingi tangisan yang semakin membuat asaku seakan-akan akan mati secara perlahan. Sakit.
Aku menunduk. Menutupi wajah dengan kedua tangan. Kakiku seperti agar-agar yang tak mampu lagi menopang berat tubuhku. Aku berjongkok, masih menutupi wajah dengan kedua tangan. Masih menangis. Masih berharap kalau pria yang berdiri di hadapanku ini akan menyangkal semua perkataanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar