Pria itu berdiri memunggungiku, melepas jas formalnya, menarik dasi berwarna emas yang mengikat lehernya, dan membuka dua kancing teratas kemejanya. Sementara aku, duduk di atas kasur king-size masih memakai kebaya, dengan rambut tercepol sempurna. Make-up ku pun tidak ada yang keluar jalur. Masih sama seperti jam-jam memuakkan sebelumnya. Pria itu melangkah dari tempat berdirinya, masih tidak melihatku, dan masuk ke dalam kamar mandi. Suara shower yang dikucurkan terdengar dari tempatku sekarang.
Pelan-pelan aku bangkit menuju meja rias. Peralatan make up-ku tersimpan rapi di sana. Tanganku menggapai cairan pembersih muka, menuangnya sedikit ke atas kapas lalu mulai menyapukannya ke seluruh wajahku yang kusut. Siapa yang bahagia? Jelas bukan aku atau pria yang ada di dalam kamar mandi saat ini. Kami berdua saling tak terima, menuduh kalau ada satu oknum diantara kami yang sengaja mengatur ini semua, dan bibit benci itu mulai tumbuh subur. Terlebih di mata cokelatnya yang seakan-akan ingin mengulitiku hidup-hidup.
Make up tebal yang setia melapisi wajahku sejak tadi pagi kini hilang sudah. Wajah kusut itu semakin terlihat jelas. Ingin rasanya aku berteriak dan menangis. Ini keterlaluan, pemaksaan, dan aku benci jika disudutkan! Aku di sini yang selalu tertuduh, oleh pria bermata sadis itu.
Sesuatu bergetar di atas meja bundar di tengah ruangan. Berkedap-kedip tak sabar. Penasaran aku mengahampirinya. Handphone pria itu, dengan nama Sara tercetak jelas di sana. Sara Calling. Layarnya semakin berkedap-kedip tak sabar. Ingin aku membantingnya saat itu juga.
***
Pria itu keluar dari kamar mandi. Aroma aftershavenya menguar, memberi esensi menggelitik di indra penciumanku. Ya, setidaknya pilihan aromanya tidak membuatku mual tetapi agak sedikit pusing, tetapi bukan jenis pusing penyakit, melihatnya keluar dengan rambut basah sehabis keramas dan kaos oblong putih dan celana pendek.
Aku mulai menyisiri rambut kusutku perlahan-lahan. Terlalu lama dalam balutan hair-spray membuat rambutku kusut seperti jala. Masih menatap cermin di hadapanku, melihat lewat sana, pria itu mengambil handphonenya yang sejak tiga puluh menit tadi terus bergetar dan berkedap-kedip -ingin ku banting-. Menyentuh layarnya dan menempelkan benda itu ke telinganya. Masih tak menyadari atau berpura-pura tak menyadari keberadaanku.
Air mukanya yang bengis hilang, berganti menjadi sesosok pria manis yang terlihat menyebalkan -di mataku-. Suaranya begitu halus terdengar. Cinta itu masih ada, tentu saja, bodoh!! terlihat jelas dari gerakan tubuhnya dan nada suaranya yang semakin terdengar sangat kasmaran.
“Ya, Sara. Aku minta maaf, tadi aku mandi.”
Oh ya, si bodoh sadis itu memang sedang mandi Sara.
“Oh aku mandi sendiri, nggak akan mungkin aku mau, Sayang,” ia tertawa.
Brengsek, pasti Sara bertanya apa ia mandi bersamaku atau tidak. Tentu saja ITU TIDAK AKAN PERNAH BODOH!!!
Aku menyikat rambutku sambil bernafsu. Marah.
“Maaf Sayang, Mama Papa pasti mengawasi aku, jadi nggak mungkin kalau aku menemuimu malam ini. Aku janji besok, Sayang. Bersabar ya,” katanya penuh cinta.
“Kamu tenang aja Sara, ini akan segera berakhir. Setelah itu, aku akan selalu ada di dekatmu. Nggak akan kemana-mana.” Senyumnya terburai lagi.
“Iya Sara, I love you too. I do,”
Pria itu menyimpan kembali handphonenya. Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku dari cermin dan mulai sibuk menyikat rambutku yang sudah mulai terlihat normal.
“Kamu lihatin aku terus?!” tanyanya galak. Oh tidaaak, ternyata dia juga memperhatikanku tadi.
“Oh ya? Geer banget kamu!” sungutku tak mau kalah dengan kegalakannya.
“Aku belum buta untuk tidak melihat kamu dengan pose muka menyebalkanmu itu ketika kamu melihat aku menelepon tadi,” kali ini pria itu menatapku. Bengis dan benci. Ya apalagi? Memangnya aku mengaharapkan pria itu menatapku penuh cinta seperti ketika ia menelepon tadi? OH YANG BENAR SAJA!!
“Aku sibuk beresin rambut dari cepolan sialan itu, jadi buang tuh khayalan kamu. Kayak aku sudi aja mau memperhatikanmu!” balasku tak kalah bengis. Memangnya dia saja yang bisa ber-bengis-bengis ria terhadapku? AKU JUGA BISA, asal kau tahu saja wahai Mr. Bengis nan sadis.
“Nggak ada gunanya aku bicara hal ini sama kamu. Buang-buang waktu!” Pria itu ke luar, menuju balkon. Mengeluarkan sebatang rokok putih dari dalam kantong celana pendeknya dan menyalakan api. Ia menghirup batang kanker itu dalam-dalam.
Aku beringsut dari kursi di meja rias. Mengambil handuk dan beberapa pakaian normal dari sejuta lingerie yang disiapkan orang tua kami di dalam koper. Lebih baik aku bakar saja lingerie ini nanti daripada membuatku semakin mual. Kakiku melangkah ke kamar mandi, bekas pakai pria itu. Ku nyalakan air hangat dalam bath tub, menunggunya sampai setengah terisi, menuangkan sabun ke dalamnya, menyalakan aroma terapi. Enyah saja aroma aftershave yang membuat kepalaku pusing.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar