“Aku minta maaf..” ulangnya lagi dengan tatapan paling sendu yang baru sekali ini ku lihat sejak dua tahun kebersamaan kami. Aku masih menatap wajahnya. Kali ini dengan air mata yang menetes. Bukan hal mudah untuk menatap wajahnya dan berpura-pura menjadi sok tegar setelah apa yang terjadi pada kami.
“Aku maafin” kataku dengan suara parau. Entah setan apa yang merasuki sehingga bisa-bisanya aku berbicara seperti itu. Ia mendongak, menatap mataku lurus-lurus. “Aku tahu kamu bohong” katanya. Ya, aku memang bohong. Ingin rasanya aku berlari menjauh, menghilang dari kehidupanku yang sekarang dan melupakan pria dihadapanku ini, tapi aku terlalu lelah. Aku sudah terlalu letih untuk berlari.
“Aku harap kamu mau bicara Al, atau melakukan apapun. Kamu boleh tampar aku, tendang aku, teriak, pukul aku, kamu boleh melakukan apapun Al..” suaranya lagi. Kali ini dia menggenggam tanganku.
Aku tetap bergeming. Menamparmu? Meneriakimu? Meemukulmu? Membayangkannya saja aku tak sanggup. Aku terlalu mencintaimu, sampai detik ini.
“Aku memaafkanmu. Jadi, aku anggap ini selesai. Kamu bisa pulang,” kataku akhirnya setelah diam yang cukup lama. Kali ini aku tak menatap wajahnya. Aku menatap Coffee Shop sederhana yang seakan memanggilku untuk bertandang ke sana. Lampunya masih temaram, tapi yang aneh, suasananya kini ramai. Sang barista tidak ada lagi di tempat ketika awal aku melihatnya. Ku rasakan genggaman tangannya semakin menguat ditanganku. Aku tahu, dia tidak terima. Aku tahu dalam hatinya pasti bergolak.
“Pulang? Katamu aku bisa pulang?!! Kamu nggak mikirin perasaanku Al? Kamu nggak mikirin tersiksanya aku tanpa kamu? Kamu anggap aku apa dua tahun ini Al…”
“Dari awal, hubungan ini salah. Kamu tahu itu. Aku cuman ingin pulang. Aku ingin kembali. Mulai dari awal.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar