Kamis, 31 Mei 2012

Black Confetti

Suara gelas saling berdenting. Tawa bahagia terdengar dari penjuru arah. Wangi bebungaan segar menguar dari tiap sudut ruangan. Wanita-wanita separuh baya haha-hihi di dekat-dekat stand makanan, mungkin ketakutan kalau tidak bisa mencicipi salah satu ataupun semua makanan lezat yang dihidangkan. Tanganku serasa kebas, tak henti menyambut uluran tangan pertanda ucapan selamat, atau memeluk siapapun yang mengangsurkan tubuhnya. 
Confetti bertebaran. Botol-botol sampanye siap untuk diteguk habis, terkadang mereka yang iseng mengocoknya terlebih dahulu dan membiarkannya terlepas ke udara membasahi sekitarnya. Karpet merah yang digelar penuh oleh taburan mawar merah. Semua bahagia. Gembira.
Kecuali aku. Dan mungkin, pria di sebelahku.
Wajahnya dingin sedingin es, ia jarang berbicara. Mungkin enggan berbicara dengan wanita sepertiku. Siapa aku ini sampai aku bisa berdiri bersisian dengan dirinya? Ia yang tampak memukau dengan jas broken white-nya yang elegan?
Aku hanyalah gadis sederhana, yang kebetulan berdiri dengan kebaya rancangan Anne Avantie yang melekat ditubuhku dan akan berganti warna dan model setiap tiga jam sekali. Toh setelah itu, aku kembali lagi menjadi gadis sederhana yang hanya mengandalkan t-shirt dan celana jeans lusuh, teman setia sepanjang hariku. Sementara dia, pria ini, selalu tampil tanpa cela. From head to toe. Semuanya harus serba perfect. Siapa aku ini sehingga aku harus hidup dengannya setelah hari ini?
Aku beranikan menatap wajahnya. Rahangnya mengeras, mungkin sadar kalau ia diperhatikan. Lihat, pria di sebelahku ini, belum aku menyentuhnya dan mengajaknya berbicara reaksinya sebegini antipatinya. Aku semakin merasa rendah diri.
Seseorang mengucapkan selamat, tubuhnya hangat. Aroma honeysuckle menjadi ciri khas wanita ini. Ia tersenyum, kemudian dengan suara berbisik mengatakan kalimat ini. Aku tidak melihat reaksi pria di sampingku, tapi dapat kupastikan ia membuang muka dan semakin membenci ritual ini. 
Bulan depan, Tante mau denger kamu ngidam dong
Kalimat normal, untuk pasangan yang sedang berbahagia. Tapi bukan untukku, maupun pria di sampingku.
“Kamu nggak seharusnya bersikap seperti itu”
“Sikap mana maksud kamu?”
“Memalingkan muka ketika Tante Vony mengajak kita berbicara, apa kamu anggap itu sopan?”
“Aku nggak suka apa yang dia bicarakan. Mungkin lain dengan kamu yang bahagia dan berharap itu menjadi kenyataan, tapi sayang, impian kamu nggak akan pernah bisa jadi kenyataan.
Aku terdiam. Sebegitukahnya aku di hadapan pria ini? Jelas-jelas ia menghinaku dengan kata-katanya. Bibirku bergetar menahan agar air mataku tidak turun. Nafasku tertinggal, masih jauh, belum membaur dengan duniaku.
“Bukan maksudku untuk mengiyakan permintaan Tante Vony. Terserah kamulah bagaimana. Kamu anggap aku apa aja terserah kamu. Toh kalau aku beri penjelasan hasilnya akan tetap sama-sama saja.”
“Kamu anggap aku bahagia karena bisa mendapatkan kamu dan merebutmu dari Sara?”
“Jawabannya adalah aku tidak pernah bahagia. Dengan ini, dengan hari kemarin, dan aku merasa bodoh karena mngizinkan pria yang tidak mencintaiku untuk menjadi suamiku.”
“Aku harap kamu bisa hilangkan tatapan merendahkan kamu itu terhadap aku.”
“Kalau kamu nggak bisa, kamu nggak perlu menatap aku.”
Dan didetik berikutnya, ia semakin menggeser, menjauh, seperti aku ini virus berbahaya yang hanya dengan berdekatan saja orang didekatku dapat terjangkit sejuta macam penyakit. Ini keterlaluan. Penghinaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar