Kamis, 31 Mei 2012

Lari (1)

“Al! Tunggu!!”
Seseorang meneriaki namaku dari belakang. Ku putuskan untuk tidak menoleh. Aku tahu siapa orang yang masih berani memanggil namaku setelah kejadian kemarin yang diperparah dengan kejadian sore ini. Aku tahu kalau orang itu juga yang telah membuat bibirku menjadi kelu, hatiku kebas, dan kakiku mmelangkah lamban padahal otakku menyuruhnya untuk bergegas.
“Al!! Tunggu aku!!!” kata suara itu lagi. Ku putuskan untuk terus melangkah, setengah berlari malah. Aku benar-benar tak ingin melihat wajahnya. Aku takut. Terlalu takut. Langkahku semakin panjang dan cepat. Sengaja ingin menciptakan jarak sejauh-jauhnya dengan pemilik suara bariton itu.
Samar ku dengar langkah kaki yang berlari di belakang. Aku tahu, dia tak akan menyerah begitu saja. Jantungku mulai berdetak tak karuan, nafasku sudah mulai tipis-tipis. Ingin ku akhiri saja adegan kejar mengejar ala film India seperti ini dan menoleh ke belakang. Menatap wajahnya. Hah!! Pikiranku tercampur aduk kali ini. Menatap wajahnya sama dengan mengaku kalah. Aku benci itu.
Aku tak punya pilihan lain selain berlari. Menyusuri lorong gedung tua yang kini mulai sepi karena matahari menepati janjinya untuk menghilang dan memberikan kesempatan kepada bulan untuk menampakkan diri. Napasku tinggal satu-satu. Peluhku tak berhenti menetes, ia membasahi kemeja kelonggaran warna broken white yang ku pakai. Bahkan ini adalah kemejanya. Kemeja pemilik suara bariton yang selama dua tahun ini menemani setiap malamku yang sepi rindu. Bukan peluh saja yang menetes, tetapi air mata ini juga tak kuasa untuk ku bendung. Tak perduli bagaimana tatapan orang-orang yang memandangiku heran dengan wajah merah seperti udang rebus, dan rambut kusut masai seperti habis terkena topan, aku terus berlari sampai aku menemukan taksi. Setidaknya, dengan angkutan itulah aku dapat ke luar dari tempat ini dan pulang.
“ALILA!!!!!” suara teriakan bariton itu semakin dekat terdengar. Aku mulai kewalahan. Ritme berlariku mulai turun sedikit, napasku masih satu-satu. Dadaku makin terasa sakit. Dua kali.
Aku berbelok ke arah kiri di sudut jalan. Berharap menemukan kendaraan apapun yang dapat membuatku pergi dari tempat ini. Berharap membawaku pergi dari situasi tidak mengenakkan ini. Berharap membawaku pergi dari pemilik suara bariton yang terus menganggu indra pendengaranku tiga puluh menit terakhir. Sampai pada akhirnya aku menyerah. Kakiku lecet beradarah, rambutku semakin kusut, wajahku, kupastikan sangat tidak enak dilihat. Walau sejak ku berbelok barusan, tidak ada seorangpun yang terlihat berjalan di trotoar. Ya, malam mulai menampakkan taringnya, dan aku merasa sendirian. 
Kakiku terhenti di depan sebuah Coffee Shop yang nampaknya tidak mempunyai daya tarik sama sekali untuk membuat orang-orang sudi untuk menginjakkan kakinya di situ. Lampunya remang-remang, bangunannya didominasi warna-warna pastel yang tidak mencolok. Dari jarak sepuluh meter seperti ini, dapat ku lihat seorang barista yang duduk lesu di belakang konternya. Sendirian.
Ku paksakan kaki ini untuk mulai melangkah kembali. Setidak-tidaknya hanya untuk sampai di Coffee Shop sederhana itu. Dilangkah yang kedua, kurasakan seseorang memegang lenganku. Nafasnya sama satu-satu. Sengaja aku memalingkan wajah. Aku takut. Terlalu takut untuk kalah.
“Aku mohon Alila…” pintanya. Suaranya begitu lirih. Nyaris tak terdengar jika dia tidak membisikkannya ditelingaku. Nafasnya menyentuh wajahku, membuat air mataku tumpah lagi. Bayangan kejadian tadi sore kembali berkelebat di kepalaku. 
“Aku minta maaf…” lirihnya membuatku sanggup untuk menatap wajahnya. Aku mengaku kalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar