Kamis, 09 Mei 2013

Karena Cinta, Memang Harus Menunggu

We're not lovers, but more than friends,
Put a flame to every single word you ever said
No more crying to get me through
I’ll keep dancing till the morning with somebody new

Penggalan lirik dari Carly Rae Jepsen sedikit membuat konsentrasiku buyar. Kenapa sih aku harus mendengarkan lagu ini di saat seperti ini? Di saat hubunganku dengan Gio sedang buruk-buruknya?! Di saat ada perasaan lain yang merasukiku dan membuatku kesetanan dan berakibat tiga hari yang lalu aku bersikap menyebalkan kepada Gio yang ternyata dibalas dengan sama menyebalkannya?

Oke, oke. Sikapku tiga hari lalu memang sangat childish. Mendadak bisu dan tuli saat aku tahu bahwa ternyata sudah satu bulan dia mendekati Samantha dan dia tidak memberitahuku. Dia anggap apa aku ini? Oh please Gio, i wanna tell you this: kita udah temenan lama banget. Mungkin sejak kamu masih pakai popok dan aku ada di dalam rahim Mama, kita udah ditakdirkan Tuhan untuk menjadi sepasang sahabat. Dan sebagai seorang sahabat kamu, kenapa kamu nggak cerita kalau kamu sedang dekat dengan Samantha? Yeah, kedengarannya memang menyedihkan. Toh Gio sebelumnya selalu cerita apapun, baik-buruk, kehidupannya padaku tanpa terkecuali. Namun, kali ini berbeda. Kalau kemarin hanya Anita, Marsha, Kiran, atau Mona dan sederet wanita lain yang aku tidak hapal namanya yang ada dalam kisah percintaannya, kenapa kali ini harus Samantha?!

God! Siapa yang tidak tahu Samantha Louciana?! Dia adalah seorang model yang pastinya cantik-- sangat cantik, kulitnya putih bening, rambutnya indah bergelombang, tubuhnya tentu tinggi semampai, dan ini yang sangat penting, Samantha bukan model yang berotak kosong yang hanya mengandalkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya saja. Ia adalah seorang wanita yang sangat pintar, buktinya saja ia berhasil mendapat gelar master-nya di umur 22 tahun! Bayangkan wanita mana yang tak akan minder setengah mati jika bersebelahan dengan dirinya yang mendekati sempurna? Dan sebagai wanita, yang walaupun bagi sebagian orang menganggap bahwa aku cantik dengan wajah blasteran Indonesia-Kanada-China yang  diwariskan oleh nenek dan ibuku, tetap saja aku minder dengan Samantha. Terlebih saat  tiga hari yang lalu, ketika aku biasa menghabiskan hariku di apartemen Gio, wanita itu datang. Dengan senyumnya yang memikat, dengan keanggunan sikapnya, dan keramahannya. Sebagai sesama wanita aku sangat terpesona melihat kedatangannya di pintu apartemen, dan Gio? Dia sangat, sangat, sangaaaaaat terpesona, tentu saja!

Aku tergugu saat dia dengan leluasa masuk ke dalam apartemen lalu menghambur ke pelukan Gio dan melingkarkan tangannya di leher lelaki itu seperti kelakuan sepasang kekasih yang telah terpisah selama beratus-ratus tahun lamanya. Dan Gio membalasnya dengan memeluk pinggang wanita itu, mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Samantha. Entah kenapa darahku berdesir hebat. Jantungku seakan-akan berdetak lima puluh kali lipat cepatnya, dan tiba-tiba saja kepalaku berdenyut sangat kencang. 

Gio melihatku sekilas lalu tersenyum, seakan-akan ia mengatakan Kimmy, dia cewek baru gue!! Yang aku lakukan? Membalas senyumnya sebisa mungkin walau itu terasa sangat sulit. Mengapa melihat Gio bermesraan dengan Samantha aku menjadi semarah ini? Mengapa saat Gio berpelukan bahkan berciuman dengan semua mantan pacarnya aku biasa saja?! Mengapa dengan Samantha semuanya menjadi berbeda? Aku menggeleng keras, menghalau suatu kesimpulan yang tiba-tiba saja terpikirkan olehku.

Ada ego yang tak menerima jika Gio mendapatkan seseorang yang lebih dariku! Samantha terlalu sempurna, terlalu luar biasa, terlalu lebih segala-galanya dibanding diriku dan dibanding mantan-mantan Gio lain yang walaupun cantik, namun kecantikannya nampak tidak alami, terlalu banyak polesan dan sentuhan tangan dokter kecantikan di mana-mana, dan jarang sekali mantan pacar Gio bersikap ramah terhadapku. Mereka selalu menganggapku pengganggu, namun Samantha berbeda. Dia merasa tak risih ketika melihatku yang membukakan pintu apartemen Gio untuknya dan dengan lembut meraih tubuhku dan memeluknya, seperti sahabat lama, sebelum ia mendaratkan pelukannya untuk Gio.

Aku terdiam selama beberapa menit di ambang pintu yang masih terbuka, berbalik ke arah ruang tamu dan melihat Gio dan Samantha sedang asyik berdua di atas sofa. Hatiku terasa diremas-remas kemudian dicabik menjadi serpihan kecil sehalus debu. Tak menunggu waktu lagi, aku melangkah melewati pintu dan berjalan secepat mungkin sampai lift, tak menghiraukan teriakan Gio yang tertinggal di belakang dan beberapa BBM dan teleponnya yang masuk ke ponselku. Hatiku terlalu sakit, bahkan hanya untuk berkata aku baik-baik saja kepada Gio.

*** 
Keesokannya, Gio mendatangi rumahku. Dia berusaha menjelaskan kepadaku mengapa ia merahasiakan hubungannya dengan Samantha. Alasan utamanya karena Samantha adalah seorang public figure. Namun hatiku masih tak mau peduli sementara otakku tak mau mendengar. Tak lebih dari lima belas menit Gio berada di rumahku sebelum aku mengusirnya ke luar, jengah sekaligus lelah menatap wajahnya yang tampan itu. Gio pergi dari rumah dengan bahu lunglai. Entahlah, siapa yang benar-benar salah di sini. Aku tak peduli.
*** 
Dan kini tepat seminggu, aku dan Gio tidak berhubungan sama sekali. Belum pernah sebelumnya selama 25 tahun persahabatan kami aku dan Gio perang dingin seperti ini. Aku sebenarnya sangat merindukan Gio. Biasanya setiap pulang kerja, dia selalu menyempatkan untuk menjemputku di kantor dan mengantarku hingga selamat ke rumah atau sesekali menginap di apartemennya walau kutahu kantor Gio berada sangat jauh dari kantorku. Aku merindukan semua BBM dan telepon menghiburnya, merindukan senyumannya yang khas, merindukan suara baritonnya, dan aku sangat merindukan harum tubuh Gio yang setiap hari biasa mampir di hidungku. Gio tak pernah menghubungiku lagi semenjak aku tidak mengacuhkan semua BBM dan teleponnya seminggu lalu. Ia juga tak pernah mendatangi rumahku lagi. Tuhan! Baru satu minggu saja aku tak bertemu dengan lelaki itu tapi kerinduan ini amatlah besar. 

Gio, apa kamu merindukan aku juga?
Atau kamu lupa kepadaku karen kini ada Samantha yang menemanimu?
*** 
Aku membuang gengsiku pagi ini. Hari kedelapan Gio tak menghubungiku. Oke baiklah, mungkin aku yang harus mengalah dan meminta maaf atas kelakuan kekanak-kanakanku seminggu yang lalu. Kuputuskan untuk mengendarai mobil ke arah apartemen Gio. Minggu pagi seperti ini biasanya Gio sudah terjaga, dia akan duduk di sofa ruang tengah menikmati secangkir espresso dan setangkup roti bakar keju favoritnya.

Tanganku terulur menekan bel pintu apartemen Gio. Pintu baru terbuka saat aku hendak menekan bel yang kedua. Seketika diriku terperangah dan mataku melotot nyaris ke luar dari tempatnya. Bibirku gemetar dan kurasakan panas di ujung mata. Oh Tuhan, jangan biarkan aku menangis di hadapan dia!

"Hai Kim? Sori agak lama buka pintu, you know, kami berdua lagi sibuk.. Yuk masuk! Nanti kusuruh Gio mandi dulu sebelum menemui kamu ya.." Samantha melenggang dari hadapanku yang masih menampakkan raut wajah seribu ekspresi. Tubuhnya yang hanya dibalut lingerie tipis berwarna hitam membuatku bergidik ngeri. Gio tidak pernah membawa wanita manapun tidur di apartemennya, tidak kecuali diriku! Dan kini, ia membiarkan Samantha tidur di sini, dan apa wanita itu bilang? Mereka sedang sibuk? Oh... Aku mengganggu Minggu pagi mereka rupanya. Seketika, rindu yang meluap-luap di dada dan perasaan bersalah seminggu ini kepada Gio, musnah tak bernyawa.

Aku menguatkan tubuh untuk menopang kedua kakiku yang mulai gemetar. Berusaha sebisa mungkin untuk berdiri tegak dan menganggap hal yang dilakukan pasangan ini adalah hal yang biasa saja. Mataku menangkap coffeetable yang kosong. Tak ada secangkir kopi ataupun roti di situ, tandanya Gio belum sarapan. Atau... Gio sudah sarapan. Di tempat tidur? Bersama Samantha?

"Kimmy..." panggil seseorang mengagetkanku.
Aku menoleh dan mendapati Gio, mengenakan polo shirt warna putih dan celana khaki berdiri di hadapanku. Wangi yang seminggu sempat hilang dan kurindukan, tiba-tiba saja terasa sangat memuakkan. Rambut lelaki itu masih basah karena dari jarak dua meter seperti inipun aku masih dapat mencium aroma mint shampoo-nya.

"Oh, hai Gio. Maaf aku ganggu, aku nggak akan lama. Aku cuman mau minta maaf atas kelakuanku seminggu ini. Oke? Sori Gio. Eh, ehm, aku pamit. Sampaikan salamku untuk Samantha ya.." Aku lekas berbalik, tak sanggup lagi melihat wajah Gio dan suasana apartemen yang dulu terasa intim bagi kami berdua. Namun dengan sigap Gio mencekal lenganku. Ia menatapku dengan tatapan keji, seperti pembunuh.

"Maaf? Lalu kamu pulang gitu aja tanpa kamu tahu aku sudah maafin kamu atau belum Kim?" tanya lelaki itu semakin menekan lenganku dengan tangannya. 

"Aku nggak peduli kamu maafin aku atau nggak. Aku cuman ingin pulang! Lepasin Gio!" rontaku. Gio seakan tuli, ia kemudian melonggarkan cekalan tangannya tapi tak melepaskannya dariku.

"Ikut aku! Kita harus bicara. Bukan di sini!"

*** 
"Ada apa  dengan kamu seminggu ini Kim? Kenapa tiba-tiba kamu marah, menjauh dariku, lalu tiba-tiba kamu kembali meminta maaf dan semudah itu kamu mau pergi lagi?" cecar Gio saat kami baru saja tiba di kedai kopi yang terletak di bawah apartemennya. 

"No aku nggak marah.. Aku.. aku mungkin lagi PMS waktu itu dan kamu tahu sendirilah cewek kalau lagi PMS kayak apa. Ha ha.." aku berusaha terdengar ceria, namun kutahu suara tawaku sangat tak enak untuk didengar.

"Bohong! Kim, aku hapal benar jadwal menstruasi kamu. Minggu yang lalu itu tanggal 20 dan aku hapal kalau jadwal kamu itu awal bulan. So, kamu bohong!"

Aku terperangah menatap Gio. Aku bohong dan dia mengetahuinya. Tuhan.. Dia bahkan hapal jadwal menstruasiku!

"Aku... Aku nggak marah Gi, sumpah. Kamu mungkin salah mengartikan ekspresi aku waktu itu.." belaku tanpa berani menatap mata elangnya.

"Kamu bohong lagi! Sejak kapan sih kamu suka bohong gini Kim? Oh ya aku tahu, sejak kamu berhubungan sama bos kamu itu kan?! Jawab Kim!"

Aku terperangah heran, kembali memiliki keberanian untuk menantang matanya. Mengapa kini aku yang disalahkan?!!

"Kamu tuh ngomong apa sih Gi! Kamu tahu sendiri kan aku nggak ada hubungan apapun sama bos aku! Dan kamu juga tahu sendiri, kalau bos aku udah punya tunangan dan bulan depan dia mau menikah! Kamu pikir aku cewek apaan hah?!"

"Oh ya? Aku rasa kamu bohong lagi Kim. Kalau kamu bilang kamu nggak ada hubungan apapun dengan bos kamu, kenapa waktu bulan lalu aku melihat dia keluar dari rumah kamu jam satu malam! Coba kamu pikir, kalau kamu ada di posisi aku, kamu bakal lihat itu sebagai apa? Affair!"

Aku terpaku. Memori kejadian sebulan lalu kembali muncul dalam ingatanku. Sial! Pasti waktu itu adalah malam perpisahan salah seorang staf di kantorku yang dipindahtugaskan ke luar negeri dan dia membuat semacam farewell party untuk anak-anak kantor di salah satu kelab. Dan aku yang tak biasa minum, dipaksa oleh teman sekantorku untuk minum-minum dan akibatnya, baru beberapa kali tegukan saja aku sudah mabuk berat dan aku baru ingat sekarang. Boskulah yang berbaik hati mengantarku pulang hingga selamat sampai rumah!

"Kamu gila sampai nuduh seperti itu kepadaku Gi! Dan kamu, ada apa jam satu malam keliaran di sekitar rumahku hah?!" tanyaku dengan nada tak suka. Kali ini kulihat Gio yang terpaku. Tatapannya berubah, tak setajam tadi dan ia menolak untuk menatapku. 

"Kenapa hah?! Jangan bilang kamu memang membuntuti aku Gi? Dan memang sengaja untuk membuat ini seolah-olah aku adalah perempuan murahan yang berhubungan dengan bosnya sendiri?! Begitu Gi?" tuduhku berapi-api.

"Kenapa diam Gi? Apa memang yang aku ucapkan tadi itu benar? Hah? Kenapa kamu diam!!" bentakku putus asa. Untung saja suasana cafe sedang sepi sehingga yang mendengar pertengkaran ini mungkin hanya beberapa staf pelayan cafe saja.

"Karena aku rindu kamu berengsek! Aku rindu sampai tubuhku terasa ngilu, sampai badanku gemetar! Aku menyetir gila-gilaan di malam buta dari apartemen hanya untuk bertemu kamu. Sehari nggak ketemu kamu rasanya aku sakit Kim. Aku rindu.. Aku sayang.. Aku sayang kamu.."

Tatapan penuh kebencian yang tadi kulontarkan padanya berubah menjadi tatapan heran sekaligus merasa nyeri di ulu hati. Gio menatapku. Sorot matanya kini memancarkan kesedihan sekaligus kerinduan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku tahu sorot mata itu bukanlah sorot mata seorang yang sedang berbohong. Aku sangat mengenal Gio sampai ke rusuk-rusuknya bagaimana ketika dia sedang berbohong atau sedang jujur. Dan kali ini, aku sama sekali tak melihat peta kebohongan yang tercetak pada wajahnya yang terlihat sangat lelah.

"Kamu tahu Kim, semenjak dulu kita bertemu dan akhirnya bersahabat sampai sekarang, aku selalu menahan perasaan ini. Kucoba dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, bahkan dari tahun ke tahun untuk menekan perasaan ini kuat-kuat. Mencoba untuk mencintai wanita lain. Mencoba untuk membuka hati bagi siapapun, tapi kamu lihat sendiri kalau di antara semua hubunganku dengan wanita manapun dan apapun, nggak ada yang berhasil. Nggak satu pun. Karena apa? Karena nggak ada cinta sama sekali bagi mereka. Ada satu cinta yang kupunya dalam hidupku dan satu cinta itu utuh, nggak bisa aku korbankan untuk siapapun walau aku berusaha keras, mencobanya. Satu cinta utuh untuk kamu Kimberly Widjaya. Dari dulu, sampai detik ini aku berbicara di depan kamu. Satu cinta itu masih milik kamu.."

Aku menatap wajah tampan Gio yang tengah menatapku. Sekali lagi, tak ada kebohongan di sana. Tak setitik pun! Kutahu, seharusnya perasaanku membuncah, bahagia, senang bahwa Gio mencintaiku. Bahwa selama 25 tahun persahabatan ini ada satu cinta menyelip dari setiap celah yang ada. Ada satu sinar harapan diredupnya dinding kukuh bernama persahabatan.

Kini, aku juga mengerti sendiri. Bahwa perasaan asing yang kurasakan pada Gio adalah satu bentuk perasaan tak berwujud namun dapat menyentuh bahkan ke lubang hati terkecil sekalipun. Cinta. Ya Tuhan! Aku mencintai Gio!

"Sa.. Samantha?" bibirku kelu saat aku mengucapkan nama itu. Bayangan dia memakai lingerie hitam seksi itu di apartemen Gio membuat darahku mendidih seketika. Aku cemburu! Benar-benar sangat amat cemburu! 

Raut wajah Gio mendadak pias dan tatapannya menjadi tidak fokus. 

"Aku cinta kamu Gio.. Aku.. aku rela menunggu kamu.." akhirnya jawaban itu keluar sendiri dari bibirku dengan susah payah. Gio menatapku tak percaya, kemudian tangannya meraih tanganku dan mengecup setiap senti permukaannya.

"Aku harap kamu sabar.. Aku harap kamu mau menunggu, karena cinta ini nggak akan kubagi dengan siapapun lagi. Cinta ini satu dan utuh, untuk kamu..."

Aku mengangguk seraya tersenyum letih. Aku harus menunggu lagi setelah perasaan asing yang berkecamuk dalam hati dan jiwa mulai bisa terdefinisikan. Namun setidaknya kini, ada cinta yang menunggu untuk diperjuangkan.

***


Aku percaya bahwa Tuhan telah menentukan jalan yang indah bagi para hambanya. Dia akan memberikan kita lilin, bukan matahari sebagai penunjuk dalam gulita karena Ia percaya, bahwa kita sebagai hamba-Nya bisa menemukan jalan indah yang telah ia persiapkan. 


2 komentar:

  1. Ketika lo mengalami suasana "friendzone" itu berbeda ketika lo mengalami suasana pacaran. Karena pacaran itu beda sm sahabat. Byk hal yg lo mengerti ketika sahabatan, tp ga lo ngerti saat pacaran.
    Ceritanya baguuuuus. Menyentuh. Daaan gw ga mengharapkan kalo suatu saat gw ada di posisi kimmy. Cemburu menguras hati. Sekian. hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha memang friendzone menguras hati #ups! Thankyou Mellida sudah mampir, main yuk ke tulisan gue yang lain hihi

      Hapus