Minggu, 02 Desember 2012

Black Confetti 8

Aku melihat ayah ibuku di ruangan besar sedang bercakap-cakap dengan anggota keluarga lain dari Aras yang belum sepenuhnya aku kenal. Sementara sebagian besar keluarga besar Aras yang lain berkumpul di tengah-tengah ruangan itu menciptakan kehebohan tersendiri, saling melemparkan bahan ejekan, dan menggoda Aras yang hanya cemberut menanggapi ocehan orang-orang terhadap dirinya.

"Cassandra!!" seru mama Aras ketika matanya menangkap pandanganku. Beliau mengahampiriku lalu memelukku erat. Sangat erat malah sampai aku tak bisa berkutik dalam pelukannya. Sedetik kemudian seluruh wanita keluarga besar Aras mengerubungiku, memelukku, mencium pipiku dan mencubitnya sebagai tanda bahwa aku memang benar-benar diterima di keluarga heboh ini. Sudut mataku memandang Aras, yang terduduk malas di atas sofa. Matanya terarah ke jendela, tak melihatku sama sekali. Ya! Memang apa yang kuharapkan sih?!

"Happy wedding ya sayang, makin cantik kamu.." ujar Tante Kiran, tante dari pihak mama Aras, sambil mencium pipiku yang ku balas dengan senyum terpaksa. 

"Aduuuh, pengantin baru udah pulang. Gimana nih honeymoon singkatnya? Lancar dong?" kini giliran Tante Putri yang menggodaku. Mereka semua tertawa-tawa bahagia mendengar pertanyaan konyol Tante Putri sementara aku, ya, mau bagaimana lagi, hanya senyum yang dapat ku berikan sebagai balasannya.

"Anak mama udah pulang nih, jadi tambah dewasa gini sih sayang. Berarti jago banget dong Aras mendewasakan kamu...."

Ruang keluarga itu semakin riuh rendah akibat tawa yang keluar dari orang-orang di sana akibat perkataan mamaku. Ku lihat Aras bangkit dari sofanya dan beranjak dari sana. 

Jadi aku di sini, di tengah-tengah ayah dan ibu beserta keluarga besar baruku yang sedang heboh membahas bagaimana honeymoon-ku dengan Aras, hanya senyum dan tawa ceria yang ku dengar di telinga. Aku berdiri di sini, dikelilingi wanita-wanita yang sangat senang menggodaku dengan jokes pernikahannya, menghadapi ini semua dan Aras menghilang entah kemana. Tidakkah seseorang yang menyadari kepergiannya? 

Aku merasa sendiri. 

Ini paradoks.

***

Mama mencium pipiku bergantian dengan papa yang mengacak-acak rambutku dengan sayang seperti aku masih berusia sepuluh tahun. Sementara itu di sebelahku, ada mama papa Aras yang sedang berbicara dengan dirinya. Sepertinya pembicaraan yang membosankan karena ekspresi wajah Aras dari tadi siang hingga bulan mulai menampakkan diri dan angin malam mulai menyapa tetap sama. Kemudian mama papa Aras menghampiriku, bergantian memelukku erat.

"Ras, jaga Cassandra sebaik-baiknya. Papa hanya pesan itu sama kamu."

"Iya Pa, demi Oma."

DEG! Hatiku tiba-tiba berdesir kencang saat Aras mengatakan 'iya'. Ada kesungguhan dalam nada dari perkataannya barusan. 

"Dan, kalian berdua, jaga rumah ini baik-baik selama Oma masih di rumah sakit ya. Kami semua percaya bahwa kalian bisa menjaga ini semua, dan menjaga hati Oma agar beliau dapat segera pulih dari penyakitnya ya sayang," mama Aras membelai lembut pipiku dilanjut dengan membelai pipi putra satu-satunya itu.

"Ya sudah kalau begitu, kami berempat pulang dulu, kalian baik-baik ya di sini dan jangan lupa, " mama memegang perutku lalu mengusap-usapnya sehalus mungkin. Aku tahu apa maksudnya dan ku temukan wajah Aras menegang seketika.

"Jangan lupa cucu ya sayang." Mama Aras ikut mengelus perutku, membuat otot-ototku mengejang seketika. Mereka mengharapkan kehadiran seorang cucu! Ini gila namanya! Ini bahkan tidak masuk perjanjian dengan Aras!

"A-aku kan masih terlalu muda ma, masih harus menyelesaikan kuliahku dulu, mungkin kami tunda dulu untuk hamil, ya kan Ras?" Tanyaku linglung sambil menatap mata Aras dan meminta persetujuan atas pernyataanku.

"Hm, iya ma. Mungkin setelah kuliah Cassandra selesai, kita akan memulai program itu."

Program gigimu Ras! Jangan harap deh!! Batinku sedikit sebal.
Ke dua mama-ku tersenyum, kemudian melepas tangannya dari atas perutku.

"Iya deh, mama ngerti. Tapi jangan kelamaan ya sayang, mama pengen cepet-cepet gendong cucu. Ya kan Teh Nansie?" 

Wajah Teh Nansie yang merupakan nama dari mama Aras berbinar cemerlang. Beliau dipanggil 'Teh' oleh mama dikarenakan umurnya yang jauh lebih tua dibanding mamaku. Ya mungkin bedanya sekitar sepuluh tahun, mengingat jarak umurku yang juga sama-sama jauh dengan anaknya.

"Iya Lis, teteh pengen cepet-cepet gendong. Pengen cepet-cepet jadi nini (nenek) dan aki (kakek) ya.."

Papa mamaku beserta papa mama Aras terkekeh pelan. 

"Ya sudah ibu-ibu, lebih baik kita tinggalkan anak-anak kita. Kayaknya mereka kecapekan seharian ini dirongrong terus sama kita-kita yang tua ini. Ayok kita pulang." ajak papa pada mama dan mama Aras, seakan beliau mengerti akan perasaanku sekarang yang campur aduk dan tak kuat lagi membahas masalah anak-cucu-gendong dan sebagainya ini.

"Ya sudah deh, mama pulang ya nak, baik-baik di dieu nya, (di sini ya,). Baik-baik sama Aras ya sayang. " Sekali lagi mama memelukku. Rasanya berat sekali melepas kepergian mama karena ini tandanya aku benar-benar seutuhnya terlepas dari pengawasan mama papaku. 

"Aku sayang mama, sayang papa." kataku berusaha menahan air mata agar tidak terjatuh. Mama papa mengangguk lalu mereka berbalik, berjalan menjauh dariku dan menghampiri mobil sedan hitam yang di parkir di luar gerbang diikuti mama papa Aras yang melangkah menjauh menghampiri sedan silver yang terparkir di belakangnya.

Sebuah klakson pertanda mobil-mobil itu kini telah meninggalkan rumah mengagetkanku sekaligus menyadarkanku bahwa aku benar-benar sendiri di sini. Berkutat dengan segala pernikahan yang penuh kebohongan yang mau tak mau harus aku lakukan. Demi mama, papa, dan demi Oma Mer yang masih  terbaring di rumah sakit. Aku tak mau megecewakan mereka walau harus mengorbankan perasaanku, mengingat perlakuan Aras yang sama sekali tak pernah ramah kepadaku.

Angin malam semakin berani menyergap tubuh dan kuputuskan untuk segera kembali ke dalam rumah, tak peduli dengan sosok Aras yang masih berdiri tegak di teras yang nyala lampunya remang-remang. Mulai detik ini kehidupanku akan dimulai. Mencoba membayangkan kalau hidupku akan berjalan seperti biasa, dari mulai bangun pagi, pergi kuliah, berkumpul bersama teman-teman, mengerjakan tugas kelompok, menulis skripsi, pergi ke perpustakaan, lalu pulang ke rumah. Ya, setidaknya tidak akan ada yang berubah tentang itu. Mungkin. 

***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar