Rabu, 02 Januari 2013

Black Confetti 9

"Aku tidur di kamar sebelah," ujar Aras sambil memasang muka malasnya untuk ke sekian kalinya hari ini. 
"Setuju! Kalau kamu sampai masuk ke kamar aku, awas aja!" Ancamku. Aras melenggang masuk ke kamarnya, tak peduli ancamanku barusan. Oke, kalau cowok itu bisa bersikap sebegitu cueknya terhadapku, aku juga bisa!

Aku melangkah menuju kamar yang seharusnya menjadi kamar bagi kami berdua, namun mengingat keadaan kami yang menikah karena terpaksa, tanpa saling cinta, hanya benci yang menggelora, mana mungkin dan tidak akan mungkin aku mau sekamar dan tidur bareng dengannya (lagi)!

Kamar ini cukup luas untuk ditempati sendirian. Terdapat satu tempat tidur ukir jepara yang terbuat dari jati dan memiliki empat tiang yang terdapat kelambu putih di setiap sisinya. Wallpapernya sendiri bermotif floral berwarna pastel. Di kedua sisi tempat tidur terdapat nakas kecil yang juga terbuat dari jati. TV layar datar yang ditaruh menempel di dinding di hadapan tempat tidur satu-satunya yang terlihat modern di kamar ini. Ya, sebelumnya menurut penjelasan mama papa Aras tadi, kamar ini merupakan kamar Oma dan beliau menginginkan kami untuk tidur di sini.

Sebuah lemari yang diletakkan di sudut kamar mengusik perhatianku. Mau tak mau aku menghampiri dan melihat ke dalam isinya dan ya pakaianku lengkap di taruh di sana, bersisian dengan pakaian Aras. Pasti Bi Onah yang menaruh semua baju-baju ini di sana mengingat koper-koper yang tadi di bawanya. Aku mengambil sepasang piyama berwarna pink dari tumpukan pakaian dan mulai memakainya. Berjalan ke arah tempat tidur yang terlihat mengundang. Baru tubuhnya menyentuh seprai di tempat tidur, diriku langsung merasa kegerahan. Entah ini karena cuaca atau karena bahan seprainya yang memang panas yang jelas aku tidak bisa tidur dalam keadaan seperti ini dan pilihannya adalah membuka jendela kamar lebar-lebar atau menyalakan kipas angin, secara sedari tadi aku tidak melihat satu AC pun di dalam rumah ini. Namun, tiba-tiba perasaan paranoid melandaku jika aku harus membuka jendela kamar. Bagaimana kalau ada penjahat yang masuk ke dalam kamar? Pembunuh berdarah dingin? Atauuu pemerkosa???!!!

GILA!

Aku beringsut ke atas kasur dan menarik selimut sampai ke ujung kepala. Keringat dingin bercampur gerah membaur menjadi satu. Kuputuskan untuk membuka piyama saja kalau cuaca sebegini panasnya, toh aku tidur sendiri juga bukan?

***

Mataku menerawang menatap langit-langit kamar, tak juga mau terpejam sejak dua jam yang lalu padahal kipas angin sudah kunyalakan sampai full, dan piyama pink yang tadi ku kenakan sudah ku buang jauh-jauh demi mengurangi panasnya cuaca malam ini, bahkan selimut pun sudah ku tendang entah kemana dan kondisiku sekarang, almost naked!

Brak!!!

Seketika pintu kamar terbuka dan membuatku gelagapan. Ya!! Aras berdiri di ambang pintu, melihatku lewat kedua bola mata cokelatnya tanpa berkedip. Secepat kilat aku meraih apapun yang ada di samping untuk menutupi tubuhku yang hanya berbalut underwear.

"Lo apa-apaan Ras!!" teriakku kencang. Aras yang sempat terdiam bego langsung menutup pintu di belakangnya dan setengah berlari ke arahku.

"Heh kamu mau ap.. ppppptttt," Aras menutup mulutku dengan telapak tangannya dan tak diragukan lagi dengan dirinya yang berada kurang dari satu meter di atasku dia dengan mudah melihat ke arah tubuhku. Aku meronta di bawahnya, mencengkram tangannya sekuat yang aku bisa namun tenagaku kalah kuat dibanding dirinya.

"Kamu, diem bisa nggak sih?! Dengerin aku ngomong!" Bentaknya sambil tangannya erat menutup mulutku dan tangan yang lain sibuk memegangi tanganku yang terus melakukan perlawanan terhadapnya. Bukannya berhenti, aku malah mengerahkan seluruh tenaga yang ku miliki untuk melawannya. Gila memang Aras, apa sih sebenarnya mau orang ini!

"Ck!" Wajah Aras mengeras, raut kekesalan jelas terpancar di sana. "Kalau aku ngelakuin ini, ini semua gara-gara kamu!"

Dalam waktu sedetik, wajah Aras berjarak beberapa senti saja dari wajahku dan tangannya terlepas dari mulutku, membiarkannya terbebas, memberi kesempatan padaku untuk memaki dirinya yang bersikap kurang ajar, namun Aras tak membiarkanku memiliki kesempatan untuk memakinya. Sesuatu yang hangat menempel di bibirku. Tubuhku kaku, diam, membeku.

***

" Nah kalau kayak gini kamu gampang disuruh diemnya," Aras tersenyum menatapku dan berguling ke samping, masih memegangi kedua tanganku takut-takut aku mulai meronta-ronta seperti kesetanan.
"Kamu sinting!" tuduhku dengan suara gemetar.
"Sebelum kamu nuduh aku sinting, mending kamu denger dulu penjelasanku, Cassandra," ia melepaskan kedua tanganku dan sempat ku lihat pandangan matanya yang turun ke bawah, dan ya terlambat sekarang untuk menutupi tubuhku toh Aras sudah menikmati pemandangan ini dari tadi. 
"Penjelasan apa?!" tanyaku sambil berusaha menutupi dadaku dengan kedua tangan. Aras sempat tertawa sebentar melihat tindakanku ini.
"Percuma, aku udah lihat jelas kok tadi, dan punya kamu nggak jelek-jelek banget kok."
Whattt?!! Apa maksudnya?! Oke, aku terima kalau dia sudah melihat tubuhku yang hampir naked ini, tapi empat kata terakhirnya itu membuatku murka!
"Oke, gini. Bi Onah dan Pa Ujang itu pembantu kesayangan Oma, dan mereka sudah hampir setengah hidupnya mengabdi ke keluarga kami. So, kalau mereka berdua tahu dan sadar kita berdua tidur pisah begini dan lapor sama mama papa apalagi Oma, bayangin aja apa akibatnya!"
Penjelasan Aras membuatku terhenyak. Apa yang ia katakan sepenuhnya benar, jika Bi Onah dan Pa Ujang tahu kalau aku dan Aras tidur pisah kamar, mama papa bisa murka dan Oma, aku tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya.

"Terus, kamu mau tidur di sini?" tanyaku waspada. Aras mengangguk.
"Iya, aku mau tidur di sini, berdua. Sama kamu."

***

Tangan Aras lagi-lagi memelukku. Ini yang aneh dari Aras. Beberapa jam yang lalu dia bersikap jahat terhadapku, bahkan tidak pernah mengacuhkanku, namun, saat ini tubuhnya berjarak sangat teramat dekat denganku. Hembusan napasnya yang halus sesekali menggelitik hidung. Aku tak pernah bisa menjelaskan bagaimana sebenarnya hubunganku dengan Aras. Kadang kita seperti anjing dan kucing namun terkadang kita seperti amplop dan lemnya. Oke, ini memang perumpamaan yang sangat jadul, tapi di satu sisi aku sangat membenci Aras atas sikapnya, namun di sisi lain aku menyukainya. Ini gila, ya aku tahu. Bahkan lebih gila lagi kalau aku masih menggunakan underwear ketika dia memelukku seerat sekarang.


***

"Morning," suara seseorang membangunkanku. Aras tersenyum kemudian mencium bibirku sekilas.
"Aku nggak ngerti sama kamu." ucapku tanpa tedeng aling-aling. Kedua alis hitam Aras bertaut, lalu menatapku serius.
"Nggak ngerti gimana?" tanyanya.
"You said that you hate me, but look at we now Ras. You kissed me! You hug me so tight like this. Ini apa? Semua ini apa?"
"Aku juga nggak ngerti San. Sedetik aku benci kamu, sedetik kemudian aku ..."
"Aku apa?!"
"Aku nggak tahu San! Detik pertama aku pengen banget usir kamu dari hadapanku, tapi detik berikutnya aku pengen banget meluk kamu."
Aku terdiam. Kami berdua sama-sama terdiam. Bagai kata-kata kuno, batas antara cinta dan benci hanya sebesar satu desahan napas. Tipis.

Aku melirik ke arah tubuhku yang ternyata tanpa ku sadar ada selimut yang membalut tubuhku. Entah sejak kapan namun aku tahu, Aras pasti yang melakukannya.

"Sampai kapan kita ngelakuin sandiwara ini Ras? Sampai kapan?!" tanyaku putus asa. Aras mencium puncak kepalaku kemudian berkata, "Sampai Oma sembuh, San. Aku pun nggak tahu kapan."
"Nunggu Oma sembuh itu lama Ras, nggak akan bisa sebulan atau dua bulan! Kamu tahu sendiri dokter bilang apa tentang penyakit Oma dan kesembuhannya gimana. Butuh waktu bertahun-tahun Ras, untuk Oma bisa sembuh total, dan aku takut kalau aku nggak sanggup..."

"Sanggup apa San?" Aras semakin erat memelukku. 

"Sanggup untuk membenci kamu.." jawabku setelah diam yang cukup lama.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar