Kamu, pria berkemeja biru yang duduk di sudut, wajahmu menunduk, fokus pada sebuah buku di tanganmu.
Kamu, pria yang sesekali melihat ke arah jendela, menikmati rinai hujan yang berderai di luar, jemarimu sesekali menyentuh kacanya, mencoba merasakan dinginnya pada kulitmu yang putih.
Kamu, pria yang sesekali tertawa, seakan menikmati bahan bacaanmu yang setumpuk di atas meja.
Kamu, pria yang sesekali menyesap minuman dalam cangkirmu perlahan, memejamkan matamu sedetik, menikmati rasanya dalam lidahmu.
Kamu, yang kini menaruh bukumu, menggerakkan tanganmu dan mengacak rambutmu sebentar.
Kamu, yang mulai memakai kaca mata lensa beningmu, menjauhkan setumpukkan buku yang ada di hadapmu, kemudian mulai sibuk dengan laptop silver di sana.
Kamu, yang kedua alismu kini tertaut, jemarimu tak henti menggoda keyboard, sesekali dia terhenti, membuat kerutan halus di dahimu.
Kamu, yang membiarkan sisa minumanmu menjadi dingin, tak lagi menyentuhnya walau kau ingin, terlalu sibuk dengan monitor di hadapmu yang meminta perhatian.
Kamu, yang pada akhirnya menutup layar monitor itu, menaruhnya ke dalam tasmu, meraih kembali buku bacaanmu.
Kamu, tak sampai lima menit, buku itu kembali tergeletak di atas meja. Tanganmu terangkat, memanggil pelayan. Sayup terdengar kau mengatakan bahwa kau ingin secangkir espresso.
Kamu, yang kini tak melakukan apapun. Tak membaca dan tak sibuk dengan laptopmu.
Kamu, yang memandang jendela. MEnyaksikan kawanan awan pekat yang mulai berdatangan, masih menyembunyikan malam.
Kamu, pria berkemeja biru, berkaca mata yang selalu duduk di sudut, yang ku lihat selalu tertunduk akibat buku yang kau baca atau sedang mengerutkan dahi akibat hal absurd yang tidak ku ketahui yang muncul di layar laptopmu, yang terkadang memandang hujan dan menikmati malam dengan secangkir espresso, yang tak pernah melihatku.
Aku, terduduk di meja sudut satunya, selalu memandangimu setiap kau datang berkunjung. Mataku seperti terhipnotis siluetmu di situ, tubuhmu menarik jantungku untuk berdetak, bertalu-talu.
Aku, yang selalu merindumu di sudut satu, namun sekalipun kamu tak tahu.
Aku, yang selalu merindumu di sudut satu, namun sekalipun kamu tak tahu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar