Rabu, 16 Januari 2013

Menunggumu

Kau akan menungguku bukan? Dan kembali bertemu. Di sini, tepat lima tahun lagi.

Aku menggenggam jemariku kuat-kuat sambil merapatkan mantel beludru berwarna merah pada tubuhku yang mulai menggigil kedinginan. Udara memang sedang tidak bersahabat akhir-akhir ini dan hujan turun tiada henti sepanjang pagi tadi. Namun untung saja, ketika aku mulai melangkahkan kaki menuju stasiun, hujan mulai mereda, seakan memberi restu untukku berjalan. Untuk menemuimu. Di sini. Seperti yang kau janjikan lima tahun yang lalu.

Tiga jam berlalu. Orang silih berganti naik turun kereta di hadapanku. Katamu, kau akan sampai di stasiun pukul satu, namun sampai saat ini batang hidungmu tak terlihat juga. Aku mengabaikan perut yang keroncongan semenjak tadi. Terlalu antusias menunggu kedatanganmu. Lima tahun yang lalu kau pergi, melaksanakan kewajibanmu untuk membela negara di provinsi paling ujung barat Indonesia. Lima tahun diriku dilanda gelisah. Aku mendengar kabarmu hanya melalui berita di tv dan terkadang itu membuatku ketakutan. Setiap penyiar menyebutkan jatuhnya korban jiwa, hatiku remuk seketika. Membayangkan kalau itu dirimu. Aku sungguh tak sanggup. Aku terlalu mencintaimu.

Dua minggu lalu kau memberiku kabar, melalui surat yang diantar oleh petugas POS yang tua namun ramah. Ia tersenyum kepadaku, mengikuti alur kegembiraanku karena disurat itu, ada tulisan namamu. Kau mengabarkan bahwa dirimu akan pulang. Kembali padaku.

Kereta terakhir berhenti di hadapanku. Satu persatu penumpang mulai keluar. Mataku berlari mencari sosokmu yang tegap menjulang. Aku merindukanmu.

"Ayu!"
Aku menoleh kearah suara yang memanggilku. Batinku tercekat ketika mengetahui itu bukan suaramu.

Dia, Rahmat, sahabatmu.
"Ayu, Winata menitip ini untukmu."

Napasku tercekat ditenggorokan.

Hanya ada sebuah guci kecil berisi segumpal abu. Lalu ada tulisanmu disitu.

Maafkan aku Ayu, aku harus meninggalkanmu..
Aku, yang mencintaimu, selalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar