Rabu, 02 Januari 2013

Black Confetti 10

Aku terbangun keesokan harinya di pelukan Aras. Tangannya melingkar di pinggangku dengan protektif sementara tubuhnya menempel erat di tubuhku. Aku menikmati semua sentuhannya dan tak ada niat sedikitpun untuk melepas pelukan Aras. Mungkin ini aneh. Bagaimana bisa aku merasa nyaman berada dalam dekapan tubuhnya padahal aku sangat membencinya. Aku membenci manusia yang terlelap di sampingku ini. Aku membenci segala bentuk kearogansian yang selalu ditunjukkannya kepadaku.

Aras bergerak dalam tidurnya kemudian perlahan-lahan membuka mata.

"Kedua kalinya kita tidur bareng, San.." sapa pria itu. Aku membalas tatapannya dan dalam sedetik sebuah ciuman kecil mendarat di bibirnya. Aras tersenyum kemudian memejamkan matanya lagi. Mengambil napas dalam-dalam, seakan-akan melihat ia berpikir keras apa arti ciumanku barusan. Belum pernah aku menciumnya dan ciuman itu ialah ciuman pertamaku untuk Aras.

"Kamu berani banget, San," kata Aras penuh teka-teki. 
"Berani apa?" tanyaku bingung.
"Cium aku seperti tadi," jawabnya.

Aku memerhatikan wajah Aras dengan seksama. Matahari yang bersinar malu-malu menerpa wajahnya yang seakan terpahat sempurna. Hidungnya mancung, bibirnya berwarna merah alami dan menggoda, kedua alisnya terbentuk indah di atas kedua matanya. Ada sedikit rambut hitam legamnya yang menutupi dahi membuat wajahnya semakin terlihat tampan. Dan bakal janggutnya yang tumbuh di sekitar rahangnya membuat Aras juga terlihat seksi. Ya Tuhan, bagaimana mungkin aku menolak melihat pemandangan seindah ini di hadapanku?

Tak tahan lagi, akhirnya kuulurkan tanganku dan ku sentuh wajahnya dengan jemari. Merasakan kulit wajahnya yang terasa sangat halus di bawah kulitku. Seketika wajah Aras menegang. Matanya tajam menantang mataku. 

"Aku benci kamu Ras.." ucapku dengan suara sepelan mungkin di telinganya. 
"Aku juga Cassandra..." balasnya kemudian menciumku lama.

***

Dua bulan kemudian..

Seharusnya kata-kata yang tepat untuk sebuah pernikahan normal adalah 'Aku sayang kamu' atau 'Aku cinta kamu', namun ku akui aku dan Aras berbeda. Mungkin sebuah kalimat romantis untuk kami adalah 'Aku benci kamu'. Ku akui diri ini belum mengenal Aras terlalu jauh, dirinya bagai sulit untuk ku gapai. Dia selalu sibuk dengan urusannya sendiri, dari mulai urusan pekerjaan, permasalahannya yang tak pernah mau dibaginya, bahkan urusan cintanya dengan wanita yang bernama Sara. Aku benar-benar mengenal Aras sepenuhnya ketika kami mulai membicarakan kesehatan Oma yang terus memburuk dari waktu ke waktu, keadaan mama papa, acara keluarga, atau ketika Aras tak lelah dan masih sempat mengajakku ngobrol ringan atau bahkan mengajakku tarik urat dan adu argumen di atas tempat tidur. Sudah dua bulan kami berbagi kamar ini, merasa sukses dengan sandiwara yang kami ciptakan sendiri.

Kehidupanku pun berjalan normal. Aras tak pernah melarangku untuk bergaul dengan semua teman-temanku di kampus, mengikuti suatu acara dan harus menghadiri rapat acara kampus yang waktunya kadang di luar batas normal. Ya ibaratnya, kehidupan pernikahan kami hanya terjadi di dalam rumah, berpura-pura saling mencintai, namun kenyataannya di luar, kami bahkan jarang berhubungan baik itu melalui telepon maupun BBM/SMS. Sampai suatu ketika, kejadian itu datang.

Saat itu aku sedang menghadiri rapat acara musik jazz yang akan diselenggarakan oleh fakultasku di kampus. Rencana awal, rapat akan dilaksanakan pukul tujuh malam, seperti biasanya dan berakhir tepat pukul sembilan. Namun karena ketua acara dari kegiatan tersebut terlambat datang, rapat baru bisa dimulai pukul setengah sembilan. Sebenarnya aku tidak ada masalah apapun dengan jam rapat tersebut, toh aku bisa pulang menggunakan taksi atau diantar oleh salah seorang teman kampusku sampai selamat hingga ke rumah, yang biasanya selalu ada supir Oma yang standby menungguku rapat, tetapi karena istrinya melahirkan ia pulang kampung hampir satu minggu. Rapat berjalan alot. Banyak masalah yang muncul akibat salah satu pihak sponsor tak mengehndaki jika kami, pihak penyelenggara kegiatan menggunakan rival dari pihak sponsor tersebut sebagai sponsor acara kami dan akhirnya masalah tersebut baru dapat dipecahkan ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Handphone-ku terus bergetar menandakan ada seseorang yang menghubungiku dan firasatku mengatakan bahwa itu mungkin Bi Onah yang khawatir terhadapku. Tetapi ternyata, bukan nomor telepon rumah yang tertera di sana melainkan nomor Aras.

Aras memarahiku habis-habisan. Bertingkah seperti seorang ayah yang memarahi anak perempuannya akibat pulang larut dan kami berdebat panjang di dalam telepon, semakin membuat rasa benciku menjadi-jadi. Dua puluh menit kemudian, Aras muncul di ruangan rapat. Dengan rambutnya yang acak-acakan dan raut wajahnya yang siap membunuh siapapun, dia menarikku dari forum. Tanpa berpamitan, aku pergi begitu saja dengan Aras yang langsung mendudukanku di dalam mobilnya.

Jujur saja aku benci sekali melihat kelakuan Aras waktu itu. Seenaknya saja menarikku dari rapat padahal permasalahan pihak sponsor tersebut belum menemukan titik terangnya dan tak dapat kubendung lagi, aku menangis di situ. Selanjutnya yang terjadi adalah Aras yang menarikku ke dalam pelukannya dan percakapan setelahnya masih terpatri dalam ingatanku.

"Kamu jahat, Ras!" bentakku. Aras semakin mengetatkan pelukannya. Meletakkan kepalaku di atas dadaya sehingga suara detak jantungnya terdengat jelas olehku.
"Oma meninggal San, satu jam yang lalu.."

Suara Aras terdengar sangat jauh. Ada sendu dalam nadanya. Ada sakit yang ia sembunyikan. Bagaimanapun ia sangat mencintai Oma Mer walau secara tak langsung Oma Mer-lah yang menyebabkan pernikahan ini. Dadaku bergemuruh kencang.Ada perasaan asing selain kesedihan yang ku rasakan di sana yang ku rasakan hingga sekarang.

Sebuah perpisahan.

***

Satu bulan kemudian...

Kepergian Oma Mer membawa luka yang mendalam bagi keluargaku, terutama keluarga besar Aras. Aku sendiri belum sempat berkenalan langsung dengan Oma dikarenakan beliau sudah koma saat aku pertama kali mengenal Aras dan mengetahui perjodohan ini. Namun pernikahan yang disinyalir dapat membuat Oma Mer sembuh dan bangun dari komanya pun tak membuahkan hasil. Oma Mer tetap dipanggil Yang Kuasa dan aku, kini terjebak dalam sebuah pernikahan yang entah mau dibawa ke mana. 

Seseorang membuka pintu kamar dan berjalan mendekat ke arahku. Aras tersenyum pahit. Di genggamnya jemariku dan diciuminya satu persatu.

"Sebelum kamu pergi, izinin aku untuk terakhir kalinya temani kamu tidur malam ini.."

***

Aku merasakan pegal luar biasa di sekujur tubuhku ketika matahari menyambutku pagi ini. Aras sendiri masih tertidur di sampingku. Wajah tampannya terlihat tirus, seakan terlalu banyak berpikir selama sebulan ia dirundung duka atas kepergian Oma. Aku melihat ke sekelilingku. Bantal, guling, dan selimut berserakan di mana-mana. Kelambu yang menutupi ranjangpun nampaknya robek karena direnggut paksa. Pakaianku berserakan di atas lantai bersamaan dengan pakaian Aras. Tak ada sehelai benangpun yang menutupi tubuh kami berdua dan kami bukan anak ingusan yang berpura-pura bodoh dan lupa atas apa yang terjadi malam tadi.

Suara ringtone handphone yang ku kenal menggema ke seluruh ruangan. Benda kecil yang berkedap-kedip di atas nakas seakan tak sabar untuk diacuhkan. Aras membuka kedua matanya. Memandangku dengan pandangan lain dari biasanya. Cukup lama sampai akhirnya ia menekan tombol hijau dan menjawab teleponnya. Tak banyak yang ia katakan selain iya, siap, dan hari ini kemudian ia menaruh handphone-nya kembali ke atas nakas. Aras memandangku. Dalam kesunyian matanya, dalam kesepian dirinya, dalam keputus asaan yang menyertainya.

"Surat cerai sudah siap. Kamu hanya tinggal tanda tangan..."

***

Perceraianku tak membutuhkan waktu lama. Dan kini statusku resmi sebagai janda. Ya, janda di usia dua puluh tahun! Aku melihat raut wajah mama papa dan mama papa Aras yang terlihat sangat sedih, bahkan mama sampai menangis saat hakim memutuskan kami bahwa kami resmi bercerai atas alasan ketidakcocokan. Bukan mama saja yang menangis karena aku, di sini, di kamarku yang dulu pun sedang menangis. Bukan karena perceraian ini, namun karena ada banyak yang tersakiti oleh perceraian kami. 

"San.. Sandra..." mama memangilku dari balik pintu kamar. "Sarapan yuk San, sudah disiapkan. Mama ingat kalau sejak kemarin kamu belum sempat makan malam kan. Ayo sayang keluar.."

Mulutku terasa pahit dan rasanya tak mampu menelan apapun yang dimasukkan. Tetapi karena tidak mau mengecewakan mama untuk ke sekian kalinya, aku mengiyakan perintah mama. Aku turun dari atas tempat tidur dan mulai melangkah ke arah pintu. Namun, di langkah ke lima ku rasakan asam lambungku naik. Cepat-cepat aku pergi ke kamar mandi dan memuntahkan apapun yang telah naik hingga ke tenggorokan. Kepalaku berdenyut kencang dan kurasakan sekelililngku berputar-putar. Ku coba untuk bangkit dan terus melangkah. Berpikir akan mengambil obat karena ternyata maag-ku yang kambuh. Namun belum semoat tanganku menyentuh handle pintu, dunia terasa gelap olehku.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar