Kamis, 24 Januari 2013

Black Confetti 11

Satu bulan lamanya aku tidak berhubungan dengan Aras. Kami benar-benar seperti tidak saling mengenal. Perceraian memang sedikit berdampak buruk bagi kesehatanku. Selama dua minggu tubuhku terserang demam, dan akhir-akhir ini maag-ku sering sekali kambuh. Siapa yang bahagia saat dihadapkan dengan perceraian? Seperti kataku dulu bahwa yang paling menderita dengan perceraianku bukan diriku atau pun Aras, namun kedua orang tua kami. Aku menyadari bahwa disetiap senyuman yang terukir dari bibir mama, terselip doa agar aku dan Aras dapat kembali bersama.

Terkadang, ketika malam datang, saat diriku tidak dipenuhi oleh kegiatan kampus yang super padat, pikiranku melayang. Terbang ke saat-saat dimana aku masih menjadi seorang istri bagi Aras. Istri yang payah, yang tidak pernah membuat suaminya bahagia. Jujur saja, aku merasa gagal. Memang pada awalnya tak ada niatan sedikitpun untuk menjadi istri sebenar-benarnya bagi Aras dan awalnya pun tak ada keinginan untuk menjalankan pernikahan ini. Namun seiring waktu bergulir, darah dalam tubuhku mulai berdesir. Saat Aras menatapku lewat sorot matanya yang tajam, saat ia memelukku kencang, saat ia menciumku, bahkan saat kami saling memunggungi, saling membenci. 

Aku tak dapat membohongi lagi, bahwa aku telah mencintai.

*** 

13 November.

Aku terus menerus memandangi kalender di atas meja belajarku. Terhitung sudah dua minggu berlalu dari periode menstruasiku. Dadaku berdebar kencang dan otakku kembali memutar memori saat terakhir kali aku bersama dengan Aras. Saat aku masih menjadi istrinya.

Seketika aku segera melesat keluar rumah. Menggowes sepedaku menuju apotik terdekat. Ah, jadi begini rasanya, ketika hatimu berdebar-debar menanti sebuah kejelasan akan kondisimu yang tiba-tiba saja melemah dan mood-mu yang naik turun seperti jet-coaster, dan mengatakan pada pegawai apotik bahwa kau membutuhkan alat tes kehamilan. 

Aku tersenyum pahit saat pegawai apotik itu memberi apa yang ku inginkan. Matanya mendelik, penuh selidik. Mengamatiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mungkin sambil berkata dalam hati bahwa, generasi muda sudah banyak yang rusak akibat tak ada niat untuk melindungi diri sendiri.

Aku menggowes sepedaku. Kali ini lebih santai. Walau jantungku semakin bertalu, menanti sebuah jawaban.

***

"Dari mana San?" tanya Mama heran melihatku masuk dari arah ruang tamu. 
"Dari mini market ma, beli pulpen buat ngerjain laporan.." jawabku bohong. Mama mengangguk kemudian beliau kembali fokus menonton serial vampir yang disiarkan stasiun tv favoritnya.

Aku menutup pintu kamar rapat-rapat. Test-pack itu kini ada di dalam genggaman. Hasilnya hanya akan menunjukkan dua kemungkinan. Positif atau negatif. Jika hasilnya negatif, mungkin kekhawatiranku akan segera berakhir. Jika hasilnya positif, tentu akan ada tanggung jawab lain yang lebih besar yang menungguku seiring berjalannya waktu, namun aku tidak akan pernah menyingkirkannya, tidak akan pernah sekalipun apabila Aras tak mengakui darah dagingnya.

***

"Kamu pucat banget San, kenapa? Sakit lagi?" 
Aku menoleh ke arah mama yang intens memperhatikan wajahku. Sedetik kemudian aku menunduk. Berpura-pura tidak mendengar pertanyaan mama barusan dan sibuk dengan dua potong roti di hadapanku.
"San?" tanya mama lagi. Beliau turun dari kursinya lalu menghampiriku. Punggung tangannya menyentuh dahiku. Tubuhku bergetar, keringat dingin mulai bermunculan. Kemudian mama menggeleng pelan sambil melihatku penuh rasa iba. Dipeluknya tubuhku seerat yang beliau bisa. Ia mengecup puncak kepalaku sambil tangannya membelai lembut punggungku yang tiba-tiba saja menjadi kaku.

"Kita ke dokter ya sekarang. Hari ini kamu nggak usah pergi kuliah dulu San.."

Aku mengangguk pasrah. Air mataku tumpah sudah. Insting seorang ibu pada anaknya memang tak pernah salah.

***

"Aku cuma ingin bicara tentang itu. Aku pamit.." ujarku seraya bangkit dari sofa yang ku duduki. Pria itu memegang lenganku kencang. Sorot matanya benar-benar penuh amarah. Rahangnya yang sebelumnya terlihat santai kini mengetat. Mulutnya ia katupkan rapat-rapat.
"K-kamu tenang aja. Aku nggak minta apapun. Aku cuma ingin bicara, setidaknya kamu harus tahu hal ini. Kar'na aku nggak mungkin menyembunyikannya dari kamu."
Cengkraman tangannya kini semakin kencang. Bibirnya terbuka sedikit.
"Duduk!" Perintahnya dengan suara mendesis. Mau tak mau aku mengikuti keinginannya. Kembali duduk di atas sofa berwarna maroon yang walaupun empuk namun kenyataannya sekarang aku seperti duduk di atas panggangan barbaque. Panas.
"Apa sih mau kamu?!" tanyanya. Dua mata memandangku tajam seakan tak berkeinginan untuk melirik ke arah lain. Aku bergeming. 
"Aku bilang aku cuma ingin kamu tahu. Sepenuhnya ini tanggung jawab aku, kamu nggak usah ketakutan atau merasa harus bertanggung jawab apapun." Kataku, tak berani membalas tatapan matanya yang menghunus. Perlahan-lahan ia melepaskan cengkraman tangannya dariku. Kemudian ia menutup wajahnya, entahlah, mungkin ini adalah hal yang memalukan baginya. Tapi tidak untukku!
"San..." Pria itu memanggil namaku.
"Ras.. Aku minta maaf karena hal ini menganggu kamu. Menganggu kehidupan kamu, terlebih hubunganmu dengan Sara. Aku.." Aku kehilangan kata-kata. Nama Sara terus menerus menggema dalam benakku selama seminggu ini. Mungkin hal ini dapat mengancurkan sedikit kebahagiaan wanita yang Aras cintai itu namun aku pun tidak bisa berbuat apa-apa. Lagipula, aku masih menjadi istri sah Aras ketika hal itu terjadi.

Raut wajah Aras kembali menegang. Tubuhnya menegak, terlihat kaku. Kini pandangan matanya terarah ke jendela besar yang menampilkan pemandangan kota Jakarta ketika malam hari dari ketinggian 45 meter. Ya, saat ini aku berada di ruang kerja Aras di kantornya. Ini merupakan kali pertama aku mengunjungi Aras di kantor, sebagai mantan istrinya.
"Hubunganku dengan Sara udah lama berakhir. Mungkin sejak empat bulan lalu saat aku sadar kalau apa yang aku lakukan itu salah.." 
Empat bulan?!! Itu berarti saat aku masih menjadi istri Aras dan sejak kami berdua tinggal bersama di rumah Oma!
"Kamu nggak pernah cerita.."
"Mungkin aku terlalu bahagia, San. Terlalu banyak harapanku saat itu, terutama setelah aku kenal kamu. Anak kuliahan yang lucu, meledak-ledak..
"Kamu tahu, kalau aku paling suka berantem sama kamu, aku seneng lihat saat mata kamu melotot, bibir kamu cemberut, alis kamu yang berkerut. Aku juga seneng saat setelah itu aku bisa memeluk kamu, cium kamu, tidur bareng kamu, walau kamu lebih sering munggungin aku.." Aras tertawa pelan.

Aku shock seketika. Tak pernah menyangka kalau ternyata Aras merasakan hal yang sama denganku. 
Tiba-tiba Aras bangkit dari kursinya, berjalan menuju diriku yang terduduk serba salah di hadapannya. Ia membungkuk, meletakkan lututnya pada karpet tebal di bawah dan menggenggam tanganku.
"Awalnya mungkin aku merasa pernikahan kita adalah sebuah kesalahan. Tapi yang sekarang aku tahu dan sadar, menikah sama kamu itu membahagiakan. Dan.. mungkin Tuhan baik banget sama kita San, karena sekarang, dia memberikan kita sebuah harapan. Satu kesempatan..."
Air mataku menitik pelan saat Aras mengucapkan kalimat itu. Bukan sebuah kalimat romantis yang dapat membuat perasaan seorang perempuan berbunga-bunga atau malah lupa daratan, namun aku mengerti dan menyadari bahwa apa yang diucapkannya kini adalah sebuah kejujuran. 

Aras melepaskan genggamannya perlahan. Tangannya merangkak naik ke atas perutku. Ia membelainya, penuh kasih sayang akan seorang ayah pada calon anaknya. Aras mendekatkan wajahnya pada perutku, kemudian mendaratkan ciumannya lama di situ. 

"Cassandra.." Aras memandangku, satu tangannya memeluk pinggangku sementara tangan yang lain membelai lembut perutku. Aku balas memandangnya, mataku kembali berkaca-kaca. Darahku berdesir menunggu apa yang hendak diucapkannya.

"Menikahlah kembali denganku..."

***

"So, menurut kamu bagusnya hijau atau biru?" tanya Aras sambil melihat-lihat katalog wallpaper. Ia duduk selonjoran di sebelahku. Satu tangannya memegang katalog, sementara tangan lainnya sibuk mengelus-elus peutku yang membuncit di usia kehamilanku yang ke enam bulan ini.

"Aras, anak kita ini perempuan. Pilihannya kok hijau atau biru. Aku maunya pink!" sungutku berapi-api sambil merebut katalog itu dari tangan Aras.

"No no no! Aku nggak mau anakku nanti, walau dia perempuan, itu lemah! Pink itu cewek banget, Sayang..."

"Loh? Kan memang dia itu cewek! Dokter Edi juga udah mastiin 1000 persen kalau anak kita itu cewek! Jadi pink keputusannya!" ujarku tak mau kalah.

"No, aku maunya hijau atau biru! Titik!" 

"Aras!" bentakku frustasi.

"Ya, Sayang?!!" jawabnya balas membentak.

"Aku mau pink, Sayang.. Ayo dong, kamu ngalah sama aku. Nggak kasihan sama ibunya calon anak kamu ini..." Aku menunduk, memasang muka paling sedih yang ku rasa paling meyakinkan. Tak lama, kudengar Aras menghela nafasnya.

"Oke, pink.." katanya kemudian. "Tapi ada syaratnya..." lanjutnya dengan senyum jahil.

"Apa?"

"Aku yang harus ngasih nama untuk anakku." Aras tersenyum, terlihat bangga sekali akan menjadi seorang ayah.

"Memang kamu mau ngasih nama siapa?" tanyaku waspada, takut-takut dia memberikan nama yang aneh-aneh bagi anak kami nanti.

"Namanya harus Blue!"

Sorot matanya berbinar dengan hanya meneriakkan satu kata yang kelak akan dipakai sebagai nama dari anak kami. Aku tersenyum seraya menarik wajah Aras dan mencium pangkal hidungnya, merasa gemas. 

Blue?

Aku mengusap perutku.


---TAMAT---



Tidak ada komentar:

Posting Komentar