Rabu, 24 Oktober 2012

Pergi

Wanita itu berada di sana. Duduk di tempat yang strategis sehingga pengunjung lain tak akan dapat melihatnya dengan jelas. Sofa cokelat yang didudukinya terhalang oleh etalase kayu yang terletak persis di sampingnya dan andai aku tidak menyipitkan mataku, aku pasti tidak dapat melihatnya. Aku melangkah pelan dan sudah ku atur hati ini agar sesaknya tak sampai muncul ke permukaan. Sulit memang tapi harus ku lakukan.

Aku mencapai sofa yang didudukinya dan ia mendongak melihatku datang. Ekspresinya langsung berubah seketika. Ia kelihatan tegang. Aku mengambil tempat duduk di hadapannya dan melihat ke arah matanya yang menatapku takut-takut. Wanita ini terlihat rapuh. Wajah cantiknya terlihat pucat dan ia diam menatapku. Aku tahu ia sangat gelisah. 

"Uhm, hai. A-aku Adel," sapa wanita itu kikuk. Ia menjulurkan tangannya, mengajak diriku untuk bersalaman. 

"Saya tahu kamu siapa. Kamu juga pasti tahu siapa saya," jawabku tak mengacuhkan uluran tangannya. Aku tak ingin dia menyentuhku, tak satu inchi-pun!

"Ehm, y-ya. M-Miranda Ramadhirga,"

Hatiku seperti diiris sembilu ketika dia mengucapkan namaku. Jelas sekali kalau itu bukan merupakan nama asliku. Ada nama milik seseorang yang tersemat di sana, dan aku yakin, wanita ini pasti sangat menyadarinya.

"So, Adel, saya nggak mau kita pura-pura seakan nggak ada kejadian apapun diantara kita, saya hanya mau nanya, kenapa kamu melakukannya?" tanyaku to the point, lelah dengan semua cerita dan keadaan yang penuh dengan basa basi. Wanita itu menunduk, menautkan jemarinya dengan gelisah, dan ketika ia mendongak, sebulir air mata bening meluncur di pipinya yang mulus. Oh yang benar saja! Kalau ada yang harus menangis itu aku! Bukan dia!

"A-aku, uhm aku minta maaf. Aku minta maaf atas semua yang terjadi antara aku, kamu, dan ..."

"Cukup!!" potongku tak sabar. Aku tak ingin mendengarnya menyebutkan namanya. Sulit menerima jika ada wanita lain yang juga mengucapkan namanya dengan perasaan yang sama.

"Tolong, saya hanya ingin tanya mengapa kamu melakukannya. Saya sama sekali tidak menyukai basa-basi!" ujarku tak sabar menahan emosi yang bergejolak di dada.

"Miranda,, aku sadar kalau aku salah. Aku yang menggodanya, aku yang mendekatinya terlebih dulu, aku yang meneleponnya terus menerus sepanjang waktu, aku yang mendatanginya ke kantornya, aku yang tak ingin ia berpisah dariku. Maafkan aku Miranda,,". Air matanya tumpah sudah. Drama sekali wanita ini!!

"Oh," responsku datar. Ia mengakuinya, wanita yang terlihat polos, lugu, dan rapuh ini mengakuinya!

"Harus ku sebut apa dirimu ini hah? Pelacur?!" kataku tajam. Matanya yang basah membulat mendengar perkataanku. 

"Pe-pelacur?". Ia menatap wajahku, ada sakit hati baru yang kini melekat di matanya. 

"Ya, kamu pelacur! Tega sekali kamu merusak hubungan kami! Apa sudah tidak ada lagi pria di dunia ini yang ingin membiayaimu hidup heh? Atau tidak ada pria lagi yang sanggup memberimu harta berlimpah selain Adrian?!! Kenapa harus Adrian, astaga ya Tuhan!!!" 

Wanita itu menunduk lagi, tangannya sibuk mengelap air matanya yang semakin deras mengalir. Apa sih yang diinginkan wanita ini sebenarnya! Aku yang seharusnya menangis seperti itu, aku yang seharusnya yang lebih sakit hati!

"Simpan air mata busukmu itu pelacur! Muak sekali saya melihat kamu seperti ini!" bentakku tapi dengan suara sepelan mungkin agar pengunjung restoran ini tak mendengar percakapan kami.

Aku mengamati dengan seksama wanita yang duduk di hadapanku. Baru kusadari, tak ada barang mewah branded yang melekat di tubuh mungilnya. Tak ada make-up sempurna yang menghiasi wajahnya. Oh tentu saja Miranda! Ia tidak akan memakai semua barang berharga yang dimintanya pada Adrian jika ia akan menemuimu.

"Tinggalkan Adrian!" perintahku setelah diam kami yang cukup lama.

Ia menatapku seketika. Wajahnya penuh ketakutan dan kesakitan luar biasa. Perkataanku seperti kutukan bagi dirinya. Ya, mungkin dia sedih dan terkejut karena ia harus meninggalkan sumber penghasilannya selama ini.

"Oh, kumohon Miranda. Aku tidak bisa meninggalkannya,"

"Sebutkan angka dan masalah ini akan ku anggap clear!" 

"Angka?" wanita ini bertanya bingung atau pura-pura bodoh aku tak mau ambil pusing.

"Berapa yang kamu butuhkan? Berapa yang biasa Adrian keluarkan untukmu lalu kalikan lima, dan saya akan  anggap ini selesai!"

Wanita itu terkesiap. Wajahnya semakin pucat. Matanya menyorotkan kesedihan yang luar biasa, pura-pura!

"Adrian tidak pernah memberiku uang Miranda, kalau itu yang kau maksud. Ia tak pernah memberiku apapun, tidak rumah, tidak apartemen, tidak semua barang-barang mewah, tidak apapun!" wanita itu berontak. Sorot matanya membara menatap diriku. 

"Bohong! Pelacur pembohong!" tuduhku berapi-api.

"Aku tahu kau akan sulit memercayai ini semua, tapi semua yang ku katakan benar Miranda. Aku mencintai Adrian, sudah lama. Mungkin saat sebelum kamu bertemu dengannya, aku sudah berhubungan dengannya. Hubungan yang singkat tapi aku tak pernah menyesalinya sampai aku menemukan diriku hamil,"

Dadaku serasa dihantam batu dengan berat berpuluh-puluh kilo. Hamil? Adrian menghamili? Oh tidak mungkin! Wanita itu tersenyum. Ia membuka dompet kumalnya dan mengeluarkan lima lembar foto. 

"Lihatlah," katanya.

Lima lembar foto seorang anak kecil, perempuan. Cantik, berambut ikal, bermata bulat besar, dan berkulit putih. Aku ingin menyangkalnya, itu sudah pasti. Wanita pelacur ini pasti membohongiku. Namun di foto ke empat aku terdiam cukup lama. Foto perempuan kecil itu dengan Adrian, sepertinya diambil di sebuah taman kanak-kanak karena perempuan itu memakai seragam sekolah dan banyak anak kecil lain yang tak sengaja jadi objek fotonya. Sesuatu dalam foto itu membuatku ingin menangis saat ini juga. 
Mata itu.
Mata perempuan kecil itu.
Berwarna abu-abu, sama dengan Adrian.

"Dia anakku, Rachel. Anak Adrian juga. Hubungan singkatku dengan Adrian hanya berlangsung dua bulan, lalu ia meninggalkanku dan aku pun sadar diri. Siapa pula di dunia ini yang ingin berhubungan denganku. Aku hanya perempuan sederhana yang tak memiliki apapun mana pantas hidup dengan Adrian. Lima tahun yang lalu, saat aku tahu kalau aku hamil, aku melarikan diri dari kota ini. Menjauh untuk melupakan Adrian karena aku sadar kalau dia tahu tentang kehamilanku, dia pasti akan menyuruhku menggugurkan kandungan ini. Aku tidak mau itu menimpa anakku. Aku berpikir aku bisa menyembunyikan ini semua, dari Adrian, dan terutama dari Rachel sampai suatu ketika saat Adrian sedang menemui klien-nya di kotaku, kami tidak sengaja bertemu. Kamu tahu Miranda, aku mati-matian berusaha mendekatinya lagi, menghubunginya terus menerus, mengganggunya dengan semua sms-smsku, hanya demi Rachel. Dia begitu sedih karena dia tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Semakin besar, Rachel terus menanyakan ayahnya. Aku tak sanggup berbohong padanya dengan mengatakan kalau ayahnya sudah meninggal atau apa, karena aku tak sanggup. Aku melihat Rachel seperti melihat Adrian kecil dengan sosok perempuan. Mata abu-abunya, rambutnya yang ikal, kebiasaannya yang sering membaca buku sebelum tidur, mengingatkanku dengan Adrian. Oleh karena itu, aku berusaha demi Rachel. Setidaknya, dia tahu kalau ayahnya itu ada.."

Aku terdiam cukup lama. Kini aku yang menangis. Entahlah, seperti semuanya kini terlihat jelas sekarang. Tak ada lagi kesempatan bagi diriku dan lebih baik aku yang mundur karena aku tak ingin melihat anak kecil itu bersedih karena ia harus kehilangan ayahnya lagi. Itu terlalu berat dan aku sangat mengerti perasaan itu, karena aku pun pernah mengalaminya. Aku bahkan tak tahu ayahku siapa dan ada dimana ia sekarang. Apakah ia masih hidup atau sudah meninggal. Itu menyesakkan.

"Aku mencintainya Miranda, karena dia ayah dari anakku. Namun, ia tak pernah mencintaiku. Tidak sekalipun, bahkan saat kami melakukan hubungan pun itu murni hanya karena nafsu yang tak dapat dibendungnya sendiri. Aku bodoh Miranda karena mencintai pria yang kau juga cintai. Dan aku minta maaf jika aku mencintai suamimu dan aku akan terus berjuang untuk diriku dan Rachel. Cintaku tak dapat ditukar dengan apapun Miranda, termasuk semua harta yang kau miliki sekalipun. Aku terlalu mencintainya dan aku memang egois, aku akan membuatnya menicntaiku dan mencintai Rachel, anak kandungnya, jadi aku mohon Miranda, jangan pernah kau memintaku untuk meninggalkan Adrian, karena, aku tak akan sanggup melakukannya,," 

Aku menggelengkan kepalaku tak percaya mendengar apa yang dikatakannya. Dia tak akan berhenti mencintai dan membuat Adrian mencintainya dan anak kecil itu. Apa yang harus ku lakukan ya Tuhan?! Mengapa mencintai saja begini sulit adanya. Mengapa harus ada wanita ini berserta anak kandung suamiku yang mengganggu kehidupan kami?! 

Aku menangis dalam diam. Mencoba mencerna kembali semua perkataannya yang membuat diriku sakit seperti ini. 

"Lihat, siapa yang menangis sekarang Miranda dan hati-hati aku akan mendapatkan Adrian karena aku tak mau kehilangan untuk kedua kali. Mengerti?"

Wanita itu bangkit dari duduknya tanpa menunggu jawabanku. Kegelisahan menjalar disekujur tubuhku. Apa harus aku berjuang untuk cintaku? Berjuang untuk seseorang agar dia dapat terus melihatku dan mencintaiku sementara ada wanita lain yang berjuang juga untuk mendapatkan cintanya? 

Wanita itu memiliki apa yang akan menjadi kelemahan Adrian. Seorang anak. Hatiku terasa dicabik-cabik mengingat suatu fakta bahwa aku tak mungkin dapat memberikan apa yang sangat dia inginkan seiring tiga tahun pernikahan kami.

Lelaki mana yang akan memilih wanita yang tidak dapat memberikan keturunan baginya?

Aku yang akan pergi, karena aku yang mencintai.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar