Selasa, 09 Oktober 2012

Black Confetti 6

Akhirnya aku memutar arah. Pilihan itu benar-benar tidak ada sama sekali. Kalau kau berkata bahwa kembali ke suite merupakan sebuah pilihan, well, itu sebenarnya bukan pilihan. Aku sebenarnya bisa saja melanjutkan langkahku, menyetop taksi lalu pergi entah kemana, yang jelas bukan pulang ke rumah, untuk menjernihkan pikiranku. 

Aku terus melangkah sambil sesekali memandang jalanan yang kini mulai sepi. Sempat kulihat jam di tangan menunjukkan pukul sembilan malam. Tentu ini bukan jam aman bagi seorang perempuan untuk berjalan-jalan menikmati semilir angin dan nyamannya berjalan kaki di pedestrian seperti ini. Maka kuputuskan untuk melangkah lebih cepat menuju hotel, setidaknya aku aman di sana jika dibandingkan berada di jalanan malam-malam seperti ini. 

Langkah kakiku terhenti seketika. Tubuhku berasa kaku dan otakku benar-benar tumpul sekali. Sebuah sosok hitam berdiri sekitar lima meter dihadapanku. Wajahnya benar-benar tak terlihat, terhalang oleh bayangan pohon rimbun di kanan kirinya. Tubuhnya tinggi besar, benar-benar membuatku takut setengah mati. Bagaimana kalau dia itu penjahat? Kriminal? Pembunuh? Atau bahkan pemerkosa?!! Ya Tuhan!! Aku benar-benar takut sekarang! Dapat kurasakan dadaku bergemuruh kencang, ketakutan.

Tanganku bergerak gemetar ke arah kantong celana jeansku dan mencari handphone yang biasa aku taruh di sana. Setidaknya aku akan menghubungi seseorang yang dapat kuminta bantuan. Sial!! Handphonenya ternyata tidak ada! Ya, aku baru ingat ketika aku kabur tadi, tak satupun barang-barang yang ada di dalam suite yang aku bawa, termasuk barang-barang pribadiku. 

Aku berjalan pelan-pelan, menunggu sosok hitam itu menyingkir. Namun jarak antara kami semakin sempit. Dia masih berdiri di sana, diam tak bergerak seperti patung sementara aku berjalan ala siput mencoba melewatinya. Sebetulnya jika aku berhasil melewati sosok itu dan berbelok ke tikungan, tak sampai lima menit, aku dapat langsung sampai di hotel itu, tapi kali ini rasanya seperti berabad-abad.

Jarak kami sekarang hanya tinggal dua meter. Sosok itu semakin jelas terlihat karena dia berdiri tepat di bawah lampu jalan yang temaram. Dia pria, berusia hampir tiga puluh tahun, memakai celana santai berwarna khaki dan jaket hitam membungkus tubuhnya yang atletis. Gemuruh di dadaku lambat laun melemah. Kakiku terasa kaku sekali melangkah, alhasil aku berdiri terpaku menghadapnya. Wajahku pasti terlihat bodoh sekarang.

***

"Kalau mau kabur, pastiin dong handphone-nya dibawa," ucap seseorang yang berdiri tak jauh dari kakiku. Aku diam, tak ingin menanggapi ucapannya yang bernada mengejek itu. Ia berjalan mnghampiriku. Jarak kami sekarang tak lebih dari tiga puluh sentimeter. Dari jarak sedekat ini aku dapat mencium aroma parfumnya. Bukan jenis parfum yang beraroma strong yang biasanya digunakan seorang pria pada umumnya, tetapi ini jenis yang lebih halus, lebih melenakan, dan membuat pikiranmu ikut berhenti sejenak. 

Matanya menatap wajahku. Belum pernah aku menatapnya dari jarak sedekat ini. Ia terlihat memesona, bahkan dalam keremangan lampu jalan sekalipun. Ia tersenyum. Tangannya bergerak membelai wajahku. Sial, sial sial!!! Ini keterlaluan! Tapi kenapa rasa-rasanya seluruh anggota tubuhku menjadi lumpuh seperti ini. Apa yang sebenarnya pria ini lakukan! Tubuhku rasanya ingin meledak saat ia menurunkan kepalanya sehingga bisa sejajar denganku sementara jemarinya masih menelisik setiap inchi wajahku. Matanya tak lepas menatap mataku. 

"Kamu gemetaran," ucapnya singkat kemudian menegakkan tubuhnya dan menciptakan jarak seperti semula, seperti yang selalu ia lakukan. Aku kaget dengan apa yang diucapkannya. Dia menyadari kalau aku gemetaran, gemetar atas tingkahnya yang membingungkan dan gemetar karena dia memandang wajahku dengan begitu intensnya. 
"Ayo pulang. Udah malam, kalau mau kabur ingat ya, pastikan kamu bawa handphone kamu," ujar Aras tiba-tiba meraih tanganku dan kami berjalan bergandengan seperti dua remaja kasmaran melewati keheningan malam. 

***

"Aku lihat kamu diam aja dari tadi. Kenapa?" tanya Aras begitu kami sampai di suite. Ia melepas jaket hitamnya dan melemparkannya begitu saja ke sofa. Ia mendekatiku yang sedari tadi duduk di pinggir tempat tidur. Aku sadar bahwa tindakanku sedari tadi hanya diam, bengong, diam, bengong seperti orang bodoh akibat sikap Aras yang tiba-tiba aneh seperti ini. Apa sebenarnya yang direncanakan Aras? 

Aras berjalan mendekatiku kemudian duduk di sebelahku membuatku waspada. Ia memutar tubuhnya sehingga ia bisa melihatku dengan leluasa. 

"Kamu marah San?" tanyanya lagi. Mau tak mau aku menatap wajahnya. Sejak kapan manusia satu ini peka terhadap perasaanku? Ini aneh!

"Biasanya bibir kamu ini hobi banget ngomong pedes sama aku, udah bosen?" Pria ini jelas-jelas menggodaku. Ia mengangkat jemari kanannya dan menyentuh bibirku. Kali ini aku tidak bisa diam!

"Kamu apa-apaan sih!" sungutku sambil menghentakkan secara kasar sentuhannya pada bibirku.

"Haha, ratu jutek is back! Aku seneng kamu balik kayak gini dari pada diem-diem pasang tampang beloon kayak tadi," Aras tertawa, matanya masih memandang wajahku. 

Aku mendengar suara tawa seorang wanita. Awalnya malu-malu kemudian terdengar lepas. Aku sadar. Itu suaraku sendiri. entah kenapa, tawa Aras begitu menular. Baru kali ini aku mendengar suara tawanya dan aku ikut tertawa mendengar tawanya. Ku rasakan hatiku sedikit menghangat karenanya.

"Kenapa ketawa?" tanyanya iseng. Ia menjawil hidungku, tapi kali ini aku membiarkannya. Terbawa suasana hati yang sedang menghangat sepertinya.

"Karena kamu ketawa," jawabku malu-malu. Ku rasakan aliran darah kini sedang meluncur deras ke wajahku, membuatnya merona.

"Aku tadi nyari kamu," ucapnya tiba-tiba. Menggantikan suasana yang hangat menjadi separuh mencekam. Aras mencariku? 

"Kenapa?" tanyaku. Ku putar tubuh ini supaya bisa kami dapat saling berhadapan.

"Nggak tau, karena kamu nggak ada dan aku kesepian diam di sini sendirian," Aras menggeser duduknya sehingga tak ada jarak lagi yang memisahkan antara aku dan dirinya. Jantungku berdegup tak karuan.

Aras mengulurkan tangannya ke arahku. Menyentuh jemariku dan menggenggamnya kemudian mencium setiap buku-buku jariku. Aku benar-benar ingin pingsan sekarang.
Dering telepon mengagetkan kami berdua. Secepat kilat ia melepaskan genggamannya dan salah tingkah mengangkat telepon yang berada di atas meja sudut. Aku berusaha menetralkan pernafasanku yang tiba-tiba serasa sesak sambil mendengarkannya menerima telepon.

"Hai sayang," sapanya pada seseorang di telepon.
Sayang!! Siapa lagi wanita yang biasa dipanggilnya sayang kecuali Sara! Tiba-tiba aku merasakan cemburu hebat menggerogoti hatiku. Bisa-bisanya dia berlaku romantis kepadaku sementara ia masih memanggil perempuan lain dengan sebutan sayang! Aku bangkit dari tempat tidur, membuka kembali koper-koperku dan mengambil sepasang piyama kuning. Aku akan tidur dan tak sabar menunggu esok hari saat aku pulang ke rumah dan menjauh dari Aras sebelum- sebelum aku jatuh terlalu dalam terhadapnya.

***

Aku meringkuk di atas tempat tidur, dengan piyama kuning dan memeluk guling. Aras pergi satu jam yang lalu. Mungkin ia menemui Sara dan bermalam dengannya entah dimana atau berjalan-jalan berdua atau entahlah, aku benci memikirkannya. Dan aku sudah berusaha setengah mati untuk bisa tidur, tetapi mata ini tidak mau diajak kompromi. Satu tempat tidur ini habis ku jelajahi dan berpuluh-puluh posisi tidur telah ku coba tapi tetap saja tidak ada hasil. Mataku masih terang benderang dan aku benci. 
Suara langkah kaki membuatku siaga. Siapa itu? Apa...

"Kamu belum tidur Cassandra?" tanyanya tepat di atas wajahku. Aku terkesiap sebentar kemudian menggeleng.

"Aku nggak bisa tidur," jawabku terbata-bata.
Sedetik kemudian kurasakan bobot tubuh Aras yang menempel di belakangku. 

Ia melingkarkan tangannya pada tubuhku. Mendekapku erat seakan takut kehilangan diriku. Ya Tuhan!
"Kamu wangi," ucapnya santai di telingaku. Kurasakan wajahnya yang  menempel di rambutku. Tubuh Aras begitu hangat. Dadanya menempel bagai lem dengan punggungku. Tangannya sesekali membelai perutku, kemudian bibirnya menjelajah di sekitar tengkukku. Membuatku bergidik, merasa geli. Detik berikutnya ia melepaskan bibirnya kemudian fokus memelukku erat dari belakang. Ia bersenandung, entah lagu apa yang dinyanyikannya yang jelas di detik berikutnya aku sudah terlelap dengan perasaan nyaman sekaligus penasaran.

***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar