Selasa, 18 September 2012

Seperti Anak-Anak Tanpa Alas Kaki


Hujan mulai turun satu-satu membasahi bumi. Wangi dedaunan yang tersapu oleh air membaui indra penciuman. Tanah mulai basah, menimbulkan wanginya tersendiri yang unik. Burung-burung pun berpulang, mencari tempat untuk berteduh atau kembali ke sarangnya sementara matahari yang biasanya muncul dengan sepenuh sinarnya yang terkadang membuat silau, tenggelam sedari tadi sebelum sempat untuk bersinar. Awan kelabu menggantung sejak pagi. Semuanya sama, saling menemukan tempat untuk kembali ke asal.
Aku menikmati keadaan ini. Melihat jalanan yang diguyur hujan yang mulai lebat. Orang-orang silih berlarian demi menghindari air yang akan membuatnya kuyup. Anak-anak kecil tanpa alas kaki saling berlarian, sesekali kepalanya menengadah ke langit, tersenyum, kemudian tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang lucu. Mobil-mobil melaju cepat, menimbulkan sensasi tersendiri ketika ia melewati genangan air dan anak-anak tanpa alas kaki tadi berdiri bahagia dipinggirnya. Terciprat. Membuatnya tambah kuyup. Mereka tertawa lagi. Betapa bahagia itu sederhana. Dengan kondisi itu saja sudah mencetak tawa bagi mereka.
Anak-anak tanpa alas kaki itu masih saling berkejaran sementara air memukuli punggung mereka tanpa ampun. Kemudian tiba-tiba rombongan yang berlarian itu berdiri tertib di pinggir jalan. Menunggu sebuah sedan perak dari kejauhan yang akan melewati genangan. Sekali lagi, mereka terkena cipratannya. Sekali lagi tawa itu meluncur keluar dari bibir-bibir mereka yang kelu dan tak perduli gigi-gigi yang saling bergemeletuk pertanda ada dingin yang menyergap tubuhnya. Kemudian mereka berlarian lagi, saling berkejaran, saling melempar apapun yang ada di pinggir jalan. Ranting-ranting pohon mahoni, daun-daunnya yang jatuh karena usia, atau bebungaan liar yang sengaja dipetik lalu dilemparkannya satu sama lain. Kemudian, mereka tertawa lagi. Betapa bahagia itu sederhana.
Tawa mereka yang berderai lepas itu lamat-lamat mulai menghilang. Kecipak air akibat gerakan kaki-kaki mereka yang lincah sudah tak terdengar. Hujan, masih saja tetap sama. Aku juga masih sama. Duduk di tepi jendela. Memandang nanar ke arah jalan yang sudah mulai sepi dan memandang langit yang mulai menghitam. Lampu-lampu mulai dinyalakan, membuat air yang turun terlihat istimewa kala ia menerobos lampu-lampu itu. Wangi daun dan tanah perlahan-lahan mulai berganti menjadi wangi air. 
Aku masih memandang jalanan. Genangannya semakin besar, membuat suatu semburan yang sanggup membasahi badan hingga ke dalam-dalamnya. Tapi tepi jalan itu kini lengang, kosong. Anak-anak tanpa alas kaki itu pergi. Tawanya tak terdengar lagi. Aku bangkit dari tempat dudukku kemudian membuka pintu kaca yang terletak persis di hadapan.
Aku menarik nafas, mencoba meyakinkan keputusan ini benar. Dua stiletto yang sedari tadi membalut kaki sudah kutanggalkan semenjak tadi. Kaki mulai menjajak tanah, setapak demi setapak. Merasakan aliran air yang menggelitikku. Merasakan sensasinya ketika ia mulai membasahi tubuhku. Langkah kaki mulai ku percepat sedikit. Ada tawa yang tersembur ketika akan melakukan hal ini. Ada senyum yang tak dapat kubendung. Aku mulai berdiri di pinggir jalan. Menunggu sebuah mobil yang akan menyembur tubuhku dan membayangkan sensasi luar biasa ketika pukulan air menyentuh kulitku. 
Hujan masih deras. Aku bersiap, berdiri tertib seperti anak-anak tanpa alas kaki tadi. Menyambut sebuah mobil sedan hitam yang mulai mendekati. 



Ditulis di Bogor, 8 Juni 2012
8.00 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar