Minggu, 16 September 2012

Black Confetti 5

Aku melangkahkan kaki ke arah trotoar yang sepi. Daun-daun pohon rindang yang di tanam di pinggir jalan bergerak seiring semilir angin yang menggelitiknya. Menikah. Satu kata itu masih menjadi sumber penyakit dalam diriku. Harus berapa lama? Sepuluh tahun? Dua puluh tahun? Tiga puluh tahun? Atau sampai maut memisahkan kah? Ada perjanjian yang dulu sempat terucap antara dua keluarga, keluargaku dan keluarga Aras tentunya. Sebuah perjodohan yang harus kami laksanakan dan kedua keluarga tentu tidak akan menerima sebuah kata penolakan.


Usiaku terpaut delapan tahun dengan Aras. Sebagai lelaki yang setidaknya jauh lebih tua seharusnya dia bisa menjadi teman yang baik, bukan seseorang yang egois dan bertindak menyebalkan seperti ini yang selalu membuat hatiku panas sejak pertama kali mengenalnya di rumah sakit dulu. Sorot matanya begitu menilaiku rendah. Belum lagi ia selalu sibuk dengan gadget di tangannya yang seakan sudah seribu tahun menempel di sana. Aku bahkan masih hafal benar percakapan pertama kami, percakapan yang membuatku perasaanku jatuh terpelanting dan gondok setengah mati.

"So, kamu masih kuliah?" tanyanya sambil matanya tak lepas dari gadget di tangannya. Ya, lihat saja, bahkan ia tidak memandangku sama sekali!

"Ya, aku kuliah. Tingkat akhir," jawabku mencoba sopan. Ku pandangi wajahnya yang nampak serius melihat ke layar Ipad-nya.

"Yakin mau nikah?" tanyanya lagi dengan gayanya yang tidak acuh. Aku terdiam sesaat, bingung.

"K-kamu memang nggak mau?" aku balik bertanya dengan gugup. Ia melepas pandangan dari Ipad-nya sejenak lalu menatapku. Memberikan senyuman paling mengejek yang pernah ku lihat.

"Mana mungkin aku mau, anak kecil. Begini, usiaku 28 dan yang aku butuhkan itu pendamping yang dewasa, yang bisa membuatku bahagia. Aku nggak mau menikah dengan orang yang jelas nggak punya kriteria itu. Jadi,buang khayalan kamu untuk menikah denganku ya. Aku pastikan hari ini juga aku akan protes mengenai perjodohan kita, entah kamu suka atau nggak."

Mulutku membulat sempurna. Heran dengan apa yang diucapkan lelaki di hadapanku. Apa katanya tadi? Aku anak kecil?!!!

"Tunggu Ras!!" sergahku saat melihat Aras yang akan pergi. Ia menoleh. Wajahnya terlihat malas. Hah!! Pantas saja namanya Aras, Aras malas. Hhhh

"Siapa juga yang ingin menikah dengan kamu?!! Kalau bukan karena perjodohan idiot ini juga aku nggak mau nikah sama kamu, om tua bangka!!" balasku menggebu-gebu. Beberapa orang di sekitar kami melirik penasaran, sambil menjaga kupingnya agar tetap waspada mendengarkan. Jarang-jarang menemukan gosip menarik seperti ini di rumah sakit bukan?

Lelaki yang ku panggil om-om tua bangka itu menggeram. Rahangnya terkatup rapat. Mulutnya sudah terbuka untuk mengucapkan serangan balasan tetapi kedatangan Mama yang tiba-tiba mengagetkan kami. Matanya berkaca-kaca.

"B-beliau, k-koma..."

***

Angin malam yang berhembus semakin kencang semakin membuat tubuhku menggigil kedinginan. Entah sudah berapa lama aku berjalan sendirian di atas trotoar ini dan sudah sejauh apa kaki ini melangkah dari suite mewah itu. Keputusan untuk keluar dari suite itu muncul begitu saja. Kelakuanku yang kabur-kaburan seperti ini semakin memperkuat pemikiran lelaki itu kalau aku memang benar-benar masih anak kecil. Ya biar saja, toh aku tidak peduli apa yang dipikirkannya tentang diriku.

Bibirku gemetar, angin malam semakin mengganas menusuk ke tulang. Aku harus kemana sekarang? Balik ke suite itu atau pulang ke rumah? Aku benar-benar tak punya pilihan.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar