Senin, 17 September 2012

Satu Segitiga

Amanda tahu bahwa ia salah.
Ia berbohong pada perasaannya, pada hatinya sendiri.
Ia membiarkan keegoisan itu menguasai dirinya.
Agar terlihat kuat dibalik kerapuhannya.
Ia kosong seperti kepompong saat kupu-kupu cantik meninggalkannya. 
Ia tertawa namun dalam hati meringis menghadapi kenyataannya. 
Amanda tahu bahwa ia salah menilainya.

***

Hujan di pagi hari memang membuat kebanyakan orang menggerutu kesal. Banyak aktivitas yang terganggu karenanya. Belum jalanan yang becek dan licin yang bisa membahayakan siapapun yang melangkah di atasnya. Halte-halte bus yang biasa kosong kini penuh dengan manusia-manusia yang berteduh. Pedestrian yang biasa ramai oleh pejalan kaki kalah ramai oleh anak kecil yang sibuk berlarian menawarkan payung besar warna-warni yang khusus dikeluarkan kalau hari sedang hujan.

Amanda berlari sambil mendekap erat map coklat di dadanya. Takut kalau sampai air hujan membasahi berkas-berkas  itu dan bisa gagal kerjaannya hari ini. Ia kerepotan. Tangan kanannya sibuk memegang payung, sementara lengan kirinya mendekap erat map coklat tadi, dan ada paper cup berisi cokelat panas yang baru saja di belinya di kedai kopi dekat halte yang ia pegang dengan tangan kirinya. "Bodoh! Kenapa harus beli cokelat ini sih, nambah repot aja!!" batinnya kesal

Hujan turun bertambah deras, tubuhnya pun semakin sulit terlindungi payungnya yang berukuran kecil. Ia merasa semakin risih dengan kondisinya sekarang. Gerbang kampus sudah berhasil dilewatinya. Untungnya saja ruang senat yang terletak di tengah-tengah gedung fakultas tinggal beberapa meter lagi. Kecepatan larinya ia turunkan sedikit. Map cokelat itu masih aman dalam dekapannya. 

***

Seseorang menyambutnya dengan senyum mengembang. Ia menerima map cokelat yang diberikan Amanda, sementara Amanda sibuk dengan payung dan bajunya yang setengah basah. Perempuan berkaca mata yang tadi menerima map itu tertawa, menertawakan keadaan Amanda yang biasanya tampil perfect from head to toe namun sekarang hancur total. Rambut ikal seksi yang selama ini diagung-agungkannya lepek sudah. Wajahnya basah oleh cipratan air hujan. Kemeja pas badannya melekat sempurna membungkus tubuhnya. Sial. Sungguh hari sial! Pekik Amanda tertahan.

"Udah, jangan cemberut dong Man. Kamu ganti baju dulu sana, kebetulan Fania bawa baju ganti tuh," ujar seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapan Amanda. Lelaki itu tersenyum. Amanda yang sedang sibuk mengeringkan tubuhnya pun kaku seketika. Amanda menyadari bahwa ekspresi wajahnya pasti terlihat seperti orang tolol sekarang.

"Man? Hei! Kok bengong?" tanyanya itu sambil menjentikkan jari di depan wajah Amanda yang terlihat kosong. Ia tersadar kemudian menegakkan wajahnya dan menatap lelaki itu. Ada gemuruh yang bergejolak dalam dadanya. Ia menyadari itu.

"Cepet Man ganti pakai baju gue nih, sekalian ada yang mau gue ceritain!!" teriak Fania dari sudut ruangan.

"Kok Fania bisa bawa baju ganti Ka?" tanyanya pada Kafka, lelaki itu, tak menghiraukan teriakan Fania barusan. Kenapa Kafka bisa tahu kalo Fania bawa baju ganti? Kenapa? Apa yang sudah mereka bicarakan selama aku kehujanan gara-gara map coklat itu?!! Lagi-lagi Amanda membatin kesal.

"Tadi Fania cerita kalau hari ini ada jadwal Taekwondo, jadi dia bawa baju ganti. Tapi gara-gara hujan, ya nggak jadi. Udah, jangan kebanyakan nanya, kamu ganti baju aja sana."

Amanda berjalan pelan meninggalkan Kafka yang kini ikut berjalan di belakangnya. Niatnya mau menemui Fania yang sibuk dengan berkas-berkas dalam map coklat itu, tetapi suara Kafka yang memanggil namanya, menghentikan langkah kaki Amanda yang sebentar lagi sampai di tempat Fania. Fania sampai ikut menoleh akibat suara Kafka yang lumayan keras. Amanda berbalik, menghadap Kafka.

"Hot chocolate kamu, boleh aku minta?"

***

Amanda mengganti bajunya di dalam kamar mandi ruang senat. Ia mengambil handuk kecil bersih yang dibawa Fania untuk latihan Taekwondo dan menggunakannya untuk mengeringkan rambut ikal seksinya yang sedikit basah. Pikirannya sedikit kacau. Seminggu belakangan ini ada yang aneh dengan sahabat-sahabatnya. Antara dia, Fania, dan Kafka. Biasanya dia hafal benar jadwal kegiatan dua sahabatnya, dari mulai jadwal kuliah, jadwal makan siang, jadwal ikut kegiatan ekstrakurikuler selain senat, bahkan jadwal tidur mereka pun ia hafal. Tapi kenapa hari ini begitu aneh? Begitu berbeda seakan-akan ia orang luar yang baru mengenal Fania dan Kafka. 

Ketika Amanda masuk dalam organisasi paling bergengsi satu fakultas ini, ia tidak mengenal siapapun. Teman-teman satu jurusan lebih memilih untuk bergabung dengan himpunan profesi yang dimiliki jurusannya daripada sibuk mengurusi kegiatan satu fakultas. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Fania dan menjalin persahabatan dengan cewek cantik berkaca mata itu. Kemudian Kafka datang, menawarkan persahabatan lain yang selama ini Amanda belum pernah merasakannya. Jadilah mereka bertiga, satu segitiga yang tak menjalin cinta sampai tepat dua bulan lalu. Amanda merasakan perasaannya terhadap Kafka yang mulai berubah. Kafka begitu baik, begitu pengertian, mau membantu apa saja demi Amanda yang saat itu kelimpungan sebagai koordinator PDD Dies Natalis fakultas mereka. Kafka senang hati membantunya membuat desain id card, mencarikan tempat sablon dan pembuatan spanduk, ikut jeprat-jepret saat acara berlangsung, padahal Kafka mempunyai job desk lain sehingga membuatnya memiliki double job desk. Amanda terkesima, pada kebaikan hati Kafka yang tak pernah ia duga.

Fania lain cerita. Ia wanita paling mandiri yang pernah Amanda kenal. Ia termasuk jajaran cewek tangguh yang mampu melakukan apapun sendirian, selama ia mampu dan sanggup lakukan. Fania jarang mengeluh dan selalu melakukan semua job desk yang dilimpahkan kepadanya dengan semangat luar biasa. Terkadang ia sering menghilang sementara dari Amanda dan Kafka akibat terlalu sibuk dengan kerjaannya, dan ini kesempatan yang Amanda tunggu. Hanya ada dirinya dan Kafka, nama Fania seperti ditelan bumi saja.

Amanda selesai mengganti pakaian dan mengeringkan rambutnya. Setelah mematut dirinya di depan cermin dan merasa sempurna, ia keluar dari kamar mandi, berniat menemui Fania dan Kafka yang ia yakini pasti sibuk mengurusi map coklatnya. Wajahnya terpasang senyum cemerlang sampai matanya terbelalak menatap apa yang ada di hadapannya.

Fania.

Kafka.

Hot chocolate-nya.


***

Amanda berlari menjauh. Tak peduli dengan teriakan Fania dan Kafka yang memanggil-manggilnya dari pintu ruang senat. Amanda benar-benar tidak peduli lagi. Badannya semakin kuyup karena air hujan. Giginya bergemeletuk karena kedinginan. Tiba-tiba semuanya menjadi sangat jelas telihat sekarang. Antara Fania, Kafka, dan dirinya.

Amanda tidak pernah membaca. Bagaimana sorot mata Kafka yang memandang Fania.
Amanda tidak pernah meraba. Bagaimana cara Kafka membantu Fania.
Amanda tidak pernah merasa. Bagaimana Kafka begitu mempedulikan Fania.

Kafka membantu Fania dalam kerendahan hatinya. Tak perlu semua orang tahu bahwa ia yang selalu menemani malam Fania. Hatinya hangat saat Fania tersenyum menyambutnya dengan pensil yang terselip di bibir atau dengan kaca mata yang setengah melorot di dalam kamar kosnya yang berantakan. Tanpa disuruh ia membuatkan teh hangat ketika gadis itu kedinginan saat malam menempa tubuhnya dan masih harus berjibaku dengan setumpuk tugas kuliah dan mengerjakan job desk-nya sebagai sekretaris senat. Fania melakukannya tanpa bicara, tak pernah sedikitpun terdengar mengeluh, bahkan lebih sering tersenyum menularkan sejuta semangat pada dirinya. Pernah Kafka berniat membantu apa saja yang bisa dikerjakannya untuk Fania, tapi Fania dengan tegas menolaknya. Ada prinsip yang dipegang teguh Fania hingga saat ini yang harus dihormatinya. Kalau kita yakin dengan kemampuan kita dan yakin kita bisa menyelesaikan pekerjaan kita dengan baik, kenapa harus membutuhkan tangan lain untuk mengerjakannya? Itu sama saja kalau kita meragukan kemampuan kita sendiri. Kafka menatapnya dengan tatapan heran sekaligus kagum. Begitu mandirinya gadis di hadapannya ini sementara gadis lain banyak yang bergantung kepada orang lain demi pekerjaannya sendiri. Fania tertawa lalu mencubit hidung Kafka gemas. "Bukannya aku sombong atau apa, aku hanya belajar untuk percaya pada kemampuanku sendiri Ka." Begitu penjelasannya waktu itu. Kafka memandangnya sekali lagi. Tampak wajah Fania merona entah karena apa, yang jelas hati Kafka berdesir hebat. Ingin rasanya ia memeluk gadis dihadapannya ini, tapi ia terlalu takut. Masih terlalu dini. Ia, Fania, gadis istimewa bagi seorang Kafka dan ia berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia akan terus berada di samping Fania, membantunya apa saja, walau gadis itu tak pernah meminta.

Fania sadar, ada sesuatu antara dirinya dan Kafka. Lewat pertemuan malam-malam mereka. Hanya berdua, tak pernah terlihat sosok Amanda di sana. Ada rasa yang Kafka bawa. Ada getar yang mewarnai hatinya. Ada rindu ketika Kafka tak ada menemaninya. Fania yakin, terselip cintanya untuk seorang Kafka.

***

Amanda selalu yakin bahwa ia bisa mendapatkan lelaki itu.
Apa yang kurang dari dirinya? 
Sebagai wanita ia dikaruniai wajah yang cantik, rambut ikal yang indah, kulit seputih pualam, wangi alami tubuhnya yang semerbak mawar.

Kenyataan membuatnya terhempas hingga ke dasar jurang. 
Menyadarkannya akan suatu keadaan.
Kafka tak pernah menganggapnya lebih dari seorang sahabat. Sekeras apapun Amanda berusaha.
Terungkap sudah kebohongan yang diciptakannya sendiri.
Ia yang membohongi hatinya, berkata bahwa Kafka menginginkannya.
Ia bukan lagi setangkai mawar penggoda kupu-kupu cantik itu
Ia tak mau lagi tertawa menyembunyikan kerapuhannya.
Amanda menangis perlahan.
Berharap akan datangnya sebuah kejujuran.
Setidaknya jujur dengan hatinya sendiri.

***








Tidak ada komentar:

Posting Komentar