Minggu, 21 Oktober 2012

Elena

Sudah dua jam berlalu tetapi perempuan itu masih berada di sana. Duduk sendiri di bawah naungan atap halte kecil yang sepi. Wajahnya pucat pasi, air tak berhenti menetes dari ujung-ujung rambutnya yang kusut. Sisa hujan yang menerpa tubuhnya yang tak terlindung apapun selain rok lusuh berwarna gading dan kemeja polos berwarna merah muda. Ia duduk, bergelung dengan tubuhnya sendiri. Memeluk tubuhnya yang mungkin kedinginan. Sesekali bahunya bergerak naik turun. Ia menggigil, bibirnya bergerak gemetar, perlahan membiru.

Aku masih setia dengan tempat dudukku. Sejak dua jam yang lalu. Pandanganku tak lepas dari sosok perempuan bertubuh mungil di hadapanku. Dengan jelas aku dapat melihatnya karena kedai kopi ini tepat menghadap jalan yang sepi kendaraan. Hanya orang-orang yang membutuhkan ketenangan dan memiliki waktu khusus untuk dapat berdiam di sini, menikmati pemandangan jalan yang dihiasi pohon-pohon besar dan tua di kiri dan kanannya, menikmati sejuknya udara bersama secangkir kopi yang beraroma wangi.

Perempuan itu kini menengadah. Matanya menantang langit yang sepertinya enggan berkompromi dengannya. Aku dapat melihat wajahnya dengan jelas sekarang. Melihat bagaimana ekspresinya saat ia masih menemukan rintik yang menghalangi perjalanannya. Matanya membulat indah. Ekspresi kesalnya sangat kentara terlihat. Tangannya masih berada di sana, melingkupi tubuhnya yang kurus kering, mencoba melawan rasa dingin yang aku rasa itu percuma saja.

Aku menyesap kopiku perlahan. Ini sudah cangkir ke lima yang kuhabiskan selama dua jam aku duduk di sini. Mencoba mencari alasan yang pantas bagi otakku yang membutuhkan penjelasan mengapa aku masih berada di sini padahal seharusnya satu jam yang lalu aku harus beranjak dari tempat ini dan kembali pada rutinitasku di kantor. Senyumku terurai saat aku berpikiran bahwa sekretarisku pasti kewalahan menjawab berbagai panggilan telepon dan membatalkan beragam pertemuan bisnis penting hari ini. Jangan tanya mengapa aku seperti ini, karena aku pun tidak tahu apa alasannya. Tidak bahkan untuk hatiku sendiri.

Di luar masih gerimis. Jalanan itu masih sepi, dan waktu hampir menunjukkan pukul lima. Hampir tiga jam aku membuang-buang waktuku di sini dan perempuan itu masih berada di sana. Duduk sendiri dengan kedua tangan yang memeluk tubuhnya erat-erat seakan takut terlepas. Aku jengah menunggu seperti ini. Hatiku berdebar tak beraturan semenjak tiga jam yang lalu. Saat ia dengan senyum cerianya membuka pintu kaca kedai kopi ini dan duduk persis di meja sudut di sebelahku. Kuncir kudanya bergoyang pelan saat ia mendongak, kemudian melambai pada seseorang yang baru saja datang. Pipi perempuan itu merona dan kecantikannya seperti bertambah seratus kali lipat saat seseorang itu datang menghampirinya.

Lelaki itu berpakaian formal. Jelas sekali ada sedikit perbedaan yang terlalu mencolok di sini. Dengan lelaki yang tampak dominan dengan segala yang dikenakan tubuhnya dibandingkan dengan sang perempuan yang terlalu sederhana untuk mengimbanginya. Aku memperhatikan mereka lewat sudut mataku sambil sesekali mencuri pandang untuk menatap ke arah mereka yang tampaknya sedang membicarakan sesuatu yang sangat serius. Tak lama, sepuluh menit kemudian aku melihat jelas kalau lelaki itu meninggalkan perempuan itu di sini. Sendirian.

Perempuan itu terdiam cukup lama. Ia memegangi dadanya dengan kedua tangannya yang bebas. Seperti sedang menahan sesuatu yang amat berat. Wajah cerianya seketika menghilang dan rona di pipinya ikut memudar. Ada yang salah dengan dirinya, aku menyadari itu. 

Hujan mulai turun setelah langit dinaungi awan hitam semenjak pagi tadi. Semakin lama semakin deras dan lebat. Membuat siapapun enggan untuk menerjang cuaca seperti ini. Kecuali dia. Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya. Masih memegang dadanya dengan kedua tangannya yang ringkih. Ia tampak menarik napas sebelum mendorong keluar pintu kaca kedai ini dan ia berlari. Menerjang hujan, kemudian duduk di halte kecil itu sampai sekarang. Hampir tiga jam.

***

Dadaku bergemuruh kencang saat tak sengaja mata kami bertatapan. Walau letak halte itu sekitar lima meter dari tempat aku duduk sekarang, aku  dapat dengan jelas menatapnya. Kami bertatapan cukup lama. Ia seakan menelanjangiku hanya dengan tatapannya dan itu membuat tubuhku kaku seketika. Ia, perempuan ini, perempuan yang ada di hadapanku saat ini, walau kami terpisah oleh dinding kaca yang melapisi, aku mengenalnya. Aku baru menyadari itu.

Perempuan yang sama. Sepuluh tahun yang lalu. Saat aku baru saja lulus dari sekolah bisnis di Dartmouth, merayakan kelulusanku di sebuah pub kecil khusus mahasiswa di sana dan saat itulah aku bertemu dengannya. Seorang perempuan yang kikuk dan polos yang bahkan tak sanggup menghabiskan satu gelas air soda sementara perempuan di sekelilingnya sibuk meminta bartender untuk menyediakan mereka berbagai minuman yang jelas lebih dari segelas air soda.

Sepuluh tahun membuatnya terlihat lebih kurus. Bahkan aku sempat tak mengenali saat dia datang ke kedai ini dan duduk di sebelah mejaku sekitar lima belas menit. Wajahnya tirus sekarang, sungguh benar-benar berbeda dengan dirinya sepuluh tahun lalu saat aku menghampirinya yang terlihat canggung di dalam pub. Perkiraanku tidak salah saat itu. Ia hanya diajak oleh teman perempuannya yang sama-sama orang Asia itu untuk merayakan kelulusan salah satu temannya yang kebetulan bersekolah di Dartmouth juga.

Aku menyukai sikap kikuk dan canggungnya saat kami mulai berkenalan. Suaranya selembut beledu ketika ia mengucapkan namanya dan terasa menyengat seluruh panca inderaku. I'm Elena, katanya waktu itu.

Aku bangkit dari tempat dudukku dan berlari secepat mungkin yang ku bisa dan mengejar perempuan yang tiba-tiba saja menghilang dari pandanganku. Aku tak menyadarinya karena pikiranku sibuk kembali ke waktu sepuluh tahun lalu. Napasku tiba-tiba tercekat. Ia kini ada di hadapanku, berdiri menghadapku dengan tangan yang masih melingkar erat membalut tubuh kurusnya. Tidak salah lagi. Ia benar-benar Elena.

"Elena,," hanya kata itu yang terucap dari bibirku yang tiba-tiba berasa kelu. 

"N-Nicholas?" 

Aku tergeragap. Tubuhku serasa dihantam martil berulang-ulang. Ada perasaan nyeri dan rasa bersalah yang kucoba kubur sepuluh tahun ini keluar sudah. Aku mengangguk, perasaan sedih kembali melingkupi hatiku. Kejadian sepuluh tahun lalu yang mengoyak hatiku dan membiarkannya mati perlahan-lahan.

Ini tidak mungkin. Aku tidak mungkin mengingkari janjiku sendiri untuk tak terjatuh lagi. Tapi mengapa hanya dengan melihat matanya yang menatapku intens seperti ini meluluhlantakkan perasaanku? Sepuluh tahun adalah masa lalu dan tak ada gunanya untuk mengingatnya kembali kini. Aku memutar tubuhku yang serasa kaku. Mencoba memaksakan kakiku unyuk berjalan menjauh. Menjauh dari sumber kehilanganku sepuluh tahun terakhir. 

Biarkan aku yang kini meninggalkannya. 

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar