Lima jam.
Aku berdiri, berjalan mondar-mandir seperti setrika tua yang mengeluarkan uap panas berlebih, bahkan berasap! Ya, bayangkan saja, aku menunggu manusia sadis itu selama lima jam di dalam suite bodoh ini. Jangankan mengirim SMS atau BBM untuk memberitahu alasannya menghilang, memberitahu dia akan pergi kemana saja, tidak sama sekali. Oh, jangan berpikiran bahwa aku sedang mengkhawatirkan Mr. Sadis itu! Itu adalah pemikiran paling mengerikan dan tidak akan pernah terjadi. Alasan sebenarnya karena aku hanya ingin keluar dari suite ini sesegera mungkin! Tidak mungkin aku pulang sendiri ke rumah 'kami' (tolong siapkan ember, aku mau muntah) dan memberikan segudang pertanyaan pada keluarga yang telah menunggu di rumah. Kenapa aku sudah pulang? Kenapa aku pulang sendiri? Dimana Aras? (Yeah, lelaki sadis yang kini menjadi suamiku bernama Aras). Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan itu hah? Apa harus ku jawab, "Oh aku nggak tahu Arsa kemana. Sewaktu aku bangun tadi dia udah nggak ada dan sepertinya nggak punya rencana untuk balik ke hotel deh." Bisa jantungan semua anggota keluargaku!
Plak! Aku menepuk jidatku. Ingatanku ternyata tidak begitu buruk. Kemarin bukannya Sara menelepon lelaki itu? Dan fakta yang dapat disimpulkan atas menghilangnya Arsa dari tempat ini dan meninggalkanku sendirian adalah, lelaki itu pergi menemui Sara! Ya benar sekali!!
Otakku semakin mendidih. Enak sekali dia menghabiskan waktu dengan pacarnya yang cantik jelita itu sementara aku di sini menunggunya pulang seperti istri bodoh kesepian yang termehek-mehek karena suaminya ketauan selingkuh! Eww, aku tidak perduli jika lelaki itu masih menemui Sara, pacarnya sebelum ia menikah, koreksi, terpaksa menikah dengan diriku, atau masih mencintainya sekalipun, aku benar-benar tidak perduli!
Aku menggenggam Blackberry-ku dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya aku bisa saja menghubunginya, tapi gengsiku terlalu tinggi untuk melakukan itu. Tanganku seakan tersetrum hebat ketika mengetikkan namanya di atas keypad. Tapi, mau sampai kapan aku menunggunya di dalam suite ini sementara dirinya entah sedang melakukan apa bersama Sara dan tak jelas kapan pulangnya?!!
Blackberry dalam genggamanku bergetar. LED-nya berkedap-kedip berwarna merah. Oh, semoga saja ini dari lelaki itu yang menghubungiku.
***
Lembayung sore berwarna oranye pelan-pelan mulai terlihat menggantung satu-satu di langit. Matahari sedang memutar haluannya ke arah barat. Siap untuk melandas. Aku menghirup nafas kuat-kuat dari atas balkon setinggi 48 lantai ini. Mencoba untuk lebih bersabar, sedikit lagi sebelum aku benar-benar kabur dari sini. Mengingat BBM yang dikirimkan Mama tadi aku merasa bersalah. Lagi, kebohongan yang aku sampaikan. Beliau menggodaku dengan isi BBM-nya, menanyakan apa persediaan lingerie yang ia siapkan di koperku cukup atau tidak. Aku meringis membacanya sambil mataku teralihkan ke arah satu koper hitam yang teronggok di sudut ruangan. Satu koper lingerie itu malah tak terpakai Ma, balasku mencoba untuk jujur. Namun ternyata Mama tidak menangkap kejujuran kata-kataku. Imajinasinya melayang jauh, membayangkan kalau aku memang tidak membutuhkan lingerie itu karena, yah kau pasti tahu sendiri alasannya bukan? Sungguh, bukan seperti itu maksudku sebenarnya. Di akhir BBM-nya, Mama meminta sesuatu yang membuat perutku bergejolak tak karuan, dan kepalaku langsung pening seketika.
Bawa calon cucu ya sayang kalau kamu nyampe rumah. Aku mencoba sekuat tenaga untuk tidak pingsan.
***
Aku mengurut kepalaku yang benar-benar terasa pening sekali sekarang. Bertubi-tubi BBM yang aku terima dari teman-teman kuliahku tak sempat ku balas. Dari yang mengucapkan selamat menempuh hidup baru, happy wedding, semoga awet sampai kakek-nenek, sampai, kok bisa sih nikah secepat itu? Kamu hamil? Siapa ayahnya Cas? Aku nggak nyangka kalau ternyata kamu seperti itu, maaf aku nggak bisa datang ke pernikahanmu ya.
Pernikahan seharusnya menjadi momen yang sangat mengharukan dan membahagiakan bukan? Aku sendiri nggak pernah nyangka bahwa pernikahanku akan seperti ini. Bayangan menikah ala film kartun Disney pun hancur barantakan. And Cinderella live happily ever after, kalimat penutup yang diutarakan sang narator di akhir cerita, saat Cinderella akhirnya menemukan pangeran sekaligus cinta sejatinya. Aku iri padamu, Cindy! Aku bahkan belum menemukan Mr. Right hingga saat ini tapi harus dengan terpaksa menerima Arsa menjadi pangeran itu. Kalau saja perjanjian bodoh masa lalu itu tidak tercipta, mungkin aku masih bahagia dengan kehidupan perkuliahanku tanpa embel-embel status, sebagai istri. Ya walau Arsa mengizinkanku untuk tetap berkuliah yang aku yakin ia memang tak perduli aku mau apa dan bagaimana, tapi embel-embel status itu yang terasa memberatkan bahuku. Belum lagi komentar-komentar miring yang timbul di kepala teman-temanku karena aku menikah secepat ini, bahkan persiapannya pun hanya dua minggu. Catat!! Hanya DUA minggu!
Aku berjalan menuju kursi malas yang diletakkan di balkon. Menggesernya agak ke depan sehingga matahari sore bisa dengan leluasa menyinari. Ku putuskan untuk segera merebahkan punggungku pada sandaran kursi malas itu dan menyelonjorkan tungkaiku yang panjang. Tubuh ini ku biarkan untuk menyerap sinar matahari sore yang tampak malu-malu. Ku pejamkan mataku, mencoba untuk rileks. Membuang segala pikiran yang membuat batinku gundah gulana, tak perlu berlama-lama. Setidaknya sampai ada malam yang menggantikannya.
***
"Sampai kapan kamu mau tidur-tiduran santai di sini?" Sebuah suara bariton mengagetkanku. Serta merta aku membuka kelopak mata yang terasa berat. Pandanganku lurus menatap gedung-gedung pencakar langit yang nampak indah akibat lampu-lampu yang dipasangnya. Ternyata hari sudah gelap. Ahh, berapa lama aku tertidur?
Pandanganku teralihkan oleh suara berdeham yang sepertinya disengajakan oleh pemiliknya. Aku melirik dengan malas. Ada Aras yang nampak santai berdiri di pinggir balkon memakai celana khaki dan kemeja longgar berwarna biru langit. Rambutnya bergoyang-goyang, nampak sedikit acak-acakan karena angin mempermainkannya.
Ia menatapku. Sorot matanya aneh, seperti bukan dirinya.
"Aku pikir kamu sudah pulang." Ujarnya menyebalkan. Seketika emosiku naik. Oh, apakah manusia ini tidak berpikir hah?!!
"Apa? Kamu pikir aku gila pulang ke rumah sendirian? Apa yang akan dipikirkan keluarga kalau aku nekat pulang sendiri tanpa kamu?!"
"Ya kamu kan bisa bilang, aku ada urusan mendadak. Atau apapun terserah kamu. Atau memang sebenarnya kamu nggak mau pisah dariku?" tanyanya dengan nada menggoda. Sebelah alisnya ia naikkan dan bibirnya menyunggingkan senyum mengejek.
"Oh ya? Jangan pernah berharap!!!" sentakku kasar kemudian pergi meninggalkannya dengan hati mendidih. Dia benar-benar menyebalkan.
***
Aku membereskan koper-koperku. Menaruhnya di dekat pintu keluar lalu bergegas mengahmpiri Aras yang baru saja selesai mandi. Lagi, bau aftershave-nya membuat kepalaku pusing.
"Aku harap kamu cepat berpakaian lalu antarkan aku pulang ke rumah," ucapku sedikit parau melihat pemandangan di hadapanku. Air masih menempel di tubuhnya yang hanya terbalut handuk tebal dari bagian pinggul ke bawah. Sial!
"Aku capek. Kita pulang besok saja. Lagi pula, suite ini memang di pesan untuk tiga hari kan? Sayang banget kalau harus pulang sekarang." Ia berjalan menuju mini WIC kemudian menghilang di balik lemari cokelat yang menghalangi pandanganku.
Aku bergegas menghampirinya, tak perduli harus dengan cara apapun, aku harus pulang malam ini karena aku benar-benar sudah tidak tahan.
Oh My God! Pemandangan di depanku benar-benar membuatku sesak nafas. Mataku terpaku pada otot-otot tubuhnya yang terlihat keras dan peluk-able, ya katakan aku sinting. Dia benar-benar memiliki tubuh yang indah!! Gila! Aku seharusnya dilarang melihat pemandangan ini, tapi siapa yang tega menolak pemandangan ini?? Oh my...
Sebuah t-shirt hitam tiba-tiba lolos memasuki kepalanya, lalu membungkus tubuhnya yang atletis. DAN!!! Astaga!! Ternyata dia hanya mengenakan boxer!
Secepat kilat aku pergi meninggalkan WIC dan mengatur nafasku yang memburu. Itu tidak boleh Cassandra. Tidak boleh!!
***
Aras keluar dari mini WIC itu kemudian duduk di hadapanku. Aku melihat dari ekor mataku kalau Aras sudah memakai celana khaki pendek,menutupi ehm boxer-nya. Rambutnya masih terlihat basah dan tersisir dengan rapi. Ingin sekali aku julurkan tangan ini dan mengacak-ngacaknya gemas.
"Kamu sudah makan?" tanyanya. TUMBEN!!!
Aku tak mengacuhkan pertanyaannya dan malah sibuk memencet-mencet keypad Blackberry, berpura-pura sibuk.
"Kamu mau makan apa?" tanyanya lagi. Tuh kan benar? Aras sedang gila! Pertemuannya dengan Sara tadi nampaknya membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Ya sedikit.
Aku semakin berpura-pura sibuk. Malas berbicara dengannya. Alasan utamanya agar aku tak menatap wajahnya yang bersih dan menggila dengan mengacak-acak rambutnya.
"Kamu itu bisu atau apa? Jangan pikir aku perduli padamu karena aku mengajakmu makan malam, tapi aku hanya nggak mau ketika kita pulang besok tahu-tahu berat badanmu menyusut berpuluh-puluh kilo dan aku yang akan disalahkan karena tidak bisa mengurusimu dengan baik!"
Aku meringis dalam hati. Ternyata Aras tidak berubah. Ia masih kejam dan egois, yang dipikirkannya hanyalah dirinya sendiri. Aku menaruh Blackberry-ku di atas meja kemudian menantang wajahnya.
"Kamu egois!" Hanya kata-kata itu yang mampu ku ucapkan. Mata kami masih saling memandang benci.
"Kamu laki-laki paling egosi yang pernah aku temui! Apa kamu pernah pikir kalau aku juga manusia? Punya perasaan. Aku nunggu kamu dari tadi pagi, kamu ngilang entah kemana. Bahkan kamu pamit pun NGGAK. Oke aku bukannya ingin dihargai sebagai istri atau apalah itu sebutannya, tapi kalau Papa, Mama aku sama kamu nanya, kamu kemana? Aku jawab apa! Apa aku mesti jawab, nggak tau Ma, Pa, tadi pas aku bangun Aras udah ngilang. Nggak tau kemana. Aku yakin semua orang pasti sibuk ngomong ini ngomong itu tentang pernikahan kita, dan aku paling takut kalau Eyang Mer sampai tahu ini semua!! Aku nggak peduli kamu mau pergi ke mana, sama siapa, ngapain aja, nggak izin ke aku juga bodo amat, tapi tolong, hargai aku aja sebagai setidaknya manusia! Hhhh" aku beringsut meninggalkan kursi, dan tanpa pikir panjang pergi meninggalkan suite ini.
***