Minggu, 18 November 2012

Black Confetti 7

Aku terbangun keesokan harinya dengan dia masih di sampingku. Matanya bersinar saat menyapa tatapan mataku yang setengah mengantuk setengah heran karena melihatnya masih di sini.
"Morning sleepyhead," sapanya sambil mengangkat salah satu sudut bibirnya, membentuk satu senyuman miring yang sanggup membuat rasa kantukku hilang seketika. Ia berbaring miring, menggunakan siku kanannya untuk menopang kepalanya demi memandangiku seperti ini.
"Morning," jawabku dengan suasana hati yang campur aduk.
"Sarapan di sini atau mau turun ke bawah San?" tanyanya lagi.
WAW!! Apa yang terjadi sama Aras sih sampai dia berubah menjadi begitu peduli dan perhatian seperti ini?! This is not so him! Kerasukan mungkin? Ah, ya bisa saja.
"Cassandra? Hello.. Kok bengong?"
Aku menatap wajahnya benar-benar. Sedetik  kemudian aku bangun dan menegakkan punggungku.
"Kamu kenapa sih Ras? Sakit atau apa? Nggak biasanya bersikap ramah tamah gini! Bilang deh apa mau kamu?!" Tuduhku tanpa tedeng aling-aling. Aras yang ditanya ikut bangun dan memandang heran ke arah wajahku lalu tertawa terbahak-bahak.
"Apa ketawa-tawa?" sahutku jutek.
"So young, fresh, labil, and cute. You're so cute Cassandra, don't you know that?"
"Iya dan kamu kayak om-om senang!" tutupku sambil melemparkan bantal ke arah wajahnya dan melenggang ke kamar mandi. I wanna go home. NOW!

***

Air yang menerpa wajahku membuatku bergidik. Sengaja aku memilih air dingin untuk membasuh seluruh tubuh sekaligus pikirankui dari kejadian gila yang ku lalui akhir-akhir ini. Dari mulai kisah perjodohan yang dramatis, pernikahan, bulan madu singkat, kabur-kaburan, sampai di malam kemarin. Pelukan Aras masih melekat di tubuhku. Aku tak mungkin melupakan itu, merasakan dekapannya dan suhu tubuhnya yang mendekap erat tubuhku, menularkan kehangatannya, mendengarkan detak jantungnya dan naik turun diafragmanya di punggungku. Oh sial! Kenapa otakku dipenuhi oleh bayangannya! 

Tanganku menutup keran shower kemudian meraih salah satu dari tumpukan handuk yang ditaruh di atas meja marmer cantik di sudut kamar mandi. 
Oh Shit!
Sial kuadrat! Aku lupa membawa baju bersih yang akan ku kenakan! Piyama beserta underwear yang ku kenakan tadi basah seluruhnya terkena percikan-percikan air saat mandi tadi dan mengenakan pakaian itu ke luar pun bukan ide yang baik. Ya terpaksa aku harus mengenakan handuk ini ke luar kamar mandi atau aku bakal mati kedinginan di sini.

Pelan-pelan ku buka handle pintu kamar mandi dan melongokkan kepala ke arah kamar, aman! Aras tidak ada di sana. Saat beberapa langkah lagi menuju koper, dimana seluruh pakaianku sudah tersimpan rapi siap untuk di bawa pulang, saat itulah sebuah dehaman keras mengagetkanku, membuatku memegang ujung handuk yang melingkar erat di tubuhku kuat-kuat. Ternyata Aras di sana, berdiri di balkon dengan pakaian semalam, rambutnya masih berantakan dan semakin berantakan karena dipermainkan angin. Tubuhnya menjulang dan terlihat sangat santai walau matahari berusaha menganggunya dengan sinarnya yang menyilaukan.

"Hello sweetheart," katanya kemudian. Ia beranjak dari tempatnya berdiri lalu menghampiriku. 
"Kamu nyari apa? Mau aku bantu?" tanyanya dengan senyumnya yang khas.
"Nggak usah sok baik deh Ras, " aku menantang matanya. "Dan nggak usah ngelihatin aku dengan tatapan mesum kamu itu! Mending, kamu cepet-cepet mandi karena aku mau pulang sekarang juga!"
Aras tertawa mengejek lalu memandangku dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Kalau kamu berpikir aku bakal tergoda cuma gara-gara tubuh kamu ini, you're wrong honey! Kamu nggak seberapa." ujarnya kemudian menghilang dari pandanganku. Setiap tubuhku gemetar. Hatiku terasa panas, sakit, entah karena apa. 
You're wrong honey. Kamu nggak seberapa.
Entah mengapa, kata-katanya yang diucapkannya kali ini, tanpa tendensi, terdengar begitu menyakitkan menusuk hati. Aku berusaha sekuat tenaga agar tidak ada air mata yang terbuang percuma di sini.

***

Tepat pukul satu siang, Audi hitam yang menjemput dan mengantarkan kami dari hotel menuju rumah, tiba di depan pintu pagar setinggi satu meter yang terbuat dari besi yang terpilin yang di cat putih tulang. Semua nampak terlihat sederhana. Rumah bergaya klasik kolonial satu lantai khas tahun 60-an memiliki halaman luas yang ditata apik. Walau terlihat asri dan nyaman tentu saja ini bukan rumah orang tuaku. Kemana sebenarnya Aras membawaku?

"Welcome home," katanya datar. Wajahnya menatap lurus ke depan. Selama satu jam perjalanan ia pun tak pernah melirikku. Ia fokus pada gadget di tangannya atau pura-pura tertarik dengan kemacetan di jalan.
Mobil Audi pun masuk ke halaman setelah pintu besi tadi di buka oleh seorang wanita paruh baya yang memakai kebaya dan rambutnya dicepol seadanya. Pintu pagar di belakangku kembali tertutup. Sang wanita paruh baya menghampiri mobil kami dan membukakan pintu untukku. Senyumnya terkembang tulus.

"Wilujeng siang Neng Sandra, mangga," katanya padaku. Pria yang mengendarai mobil ini pun langsung ke luar dan mengeluarkan barang-barangku dari dalam bagasi. Loh?!!
Aku melirik ke arah Aras yang nampak tak peduli dan langsung saja menyambar lengannya ketika ku lihat ia hendak membuka pintu mobil di sampingnya.

"Aku mau pulang," desisku tajam. Aras melirikku malas.
"Ini udah di rumah," balasnya tak acuh.
"Aras, aku masih hapal benar rumah orang tuaku di mana, dan ini, jelas bukan tempat tinggalku. Jadi, antar aku ke rumah orang tuaku sekarang juga!"
Ia menarik lengannya dari cengkramanku secara paksa lalu membuka pintu mobil dan meninggalkanku sendirian.
Sedetik kemudian aku ingin menangis, benar-benar ingin menangis, tak mampu rasanya lagi membendung perasaan dongkolku yang semakin hari semakin menggebu. Bayangkan saja dalam waktu 3 hari sejak hari pernikahanku, hati dan perasaanku rasanya luluh lantak, hancur berantakan. 

"Neng?" Tanya sebuah suara yang tiba-tiba saja membuatku mengurungkan niatku untuk menangis di sini. Aku menoleh ke arahnya, berusaha untuk tersenyum semanis mungkin.
"Neng Sandra sudah ditunggu sama keluarga di dalam, ayo Ibu, saya antar ke dalam," ujarnya di samping pintu mobilku yang terbuka dengan logat Sunda yang kental.
Aku seperti kehilangan orientasi. Kepalaku rasanya mau pecah saja.
"Tunggu, ini rumah siapa?" tanyaku linglung.
"Eh, memang tadi Den Aras nggak bilang?" Aku menggeleng, frustasi,
"Ini rumah Oma Mer, Neng Sandra. Semua keluarga sudah berkumpul di dalam menyambut manten baru, termasuk bapa sama ibu Neng Sandra juga sudah ada di dalam, ayo masuk Neng, saya antar."

Kepalaku benar-benar meledak.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar