Selasa, 20 November 2012

La Côte d'Azur


Selasa minggu pertama bulan ke lima.

Cinta datang karena terbiasa.

Suatu ungkapan klise yang Bonita sering dengar. Satu ungkapan yang hanya lewat sekilas di telinganya, yang ia anggap sebagai angin lewat yang tak perlu dihiraukannya sama sekali. Mungkin Bonita tidak peduli, atau mungkin dia hanya berpura-pura. Ia sendiri bukan orang yang skeptis dengan cinta. Sebaliknya, ia sangat percaya. Lebih dari percaya kepada dirinya sendiri malah, namun yang ia tidak percayai, mengapa cinta yang tidak percaya padanya.

Ungkapan itu kini berputar dalam kejernihan pikiran Bonita. Membuat arus tersendiri yang menenggelamkan pikiran-pikiran lain yang tersangkut dalam otaknya dan mengambangkan satu kata itu. Cinta datang karena terbiasa. Cinta datang karena terbiasa. Kali ini Bonita mengucapkannya berulang-ulang dalam sendu suara dan lelah penantiannya. Mengucapkannya layaknya ia mengucap mantra.

***

Selasa minggu pertama bulan pertama.

Gerimis mulai membasahi bumi. Meneduhkan derita setiap makhluk yang lelah akan sinar mentari yang terpaksa diserapnya dalam-dalam selama seminggu ini. Wangi tanah dan dedaunan mengusik indra penciuman Ganendra. Ditahannya langkah kaki dan dibiarkannya dirinya menikmati sensasi gerimis ini. Biar rintik yang mengusik, tak peduli dengan kewajiban yang menunggunya di balik pintu kaca sana. Ganendra menikmatinya. Benar-benar menikmatinya.

Sementara di balik pintu kaca, seorang wanita dengan secangkir jasmine tea di tangan kanannya sedang menikmati. Bukan kecapan jasmine yang melekat dalam lidahnya, namun ia menikmati pemandangan yang berada di balik jendela kaca besar yang memisahkan mata dengan sosok lelaki berkemeja hitam yang sedang berdiri, menikmati terpaan angin dan sentuhan air di tubuhnya dalam senyuman yang terkembang di bibirnya yang tipis. Ia menikmati pemandangan yang terhampar di hadapannya. Benar-benar menikmatinya.

***

Bonita tidak pernah menyangka kalau menunggu itu sebegini membosankannya. Sudah habis dilahapnya majalah wanita yang dibelinya tadi di depan La Côte d'Azur, sebuah kedai kopi modern yang terletak di samping taman kecil tengah kota. Dua jam sudah ia hanya duduk-duduk di sini, menyesap pelan-pelan secangkir macchiato yang mengirimkan sensasi menentramkan sekaligus membuatnya bertambah gundah. Semakin sedikit cairan espresso dalam cangkirnya, semakin menjelaskan bahwa yang ditunggunya tak kunjung datang juga. Dua jam berlalu, satu setengah cangkir macchiato habis disesapnya.

Ditaruhnya cangkir kedua yang masih menyisakan setengah espresso di dalamnya. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya di sudut mata. Seorang lelaki bertubuh tegap dan berparas tampan berdiri dengan nyamannya di tengah gerimis. Membiarkan air hujan membasahi tubuhnya pelan-pelan, membuat kemeja hitamnya melekat erat pada tubuhnya yang indah. Bonita terpana. Ia benar-benar menikmati pemandangan di depannya. Benar-benar menikmatinya.

***
Ganendra menghentikan aksi dramatisnya yang ternyata tanpa ia sadari menyita perhatian banyak orang di sekitarnya. Gerimis mulai menangis kencang. Dilangkahkan kakinya yang panjang ke arah La Côte d'Azur. Tangannya terulur ke arah rambutnya dengan gaya mengacak-acak, berharap sisa air gerimis tadi ikut hilang akibat gerakannya barusan. Tangannya yang basah membuka pintu kaca di hadapannya. Seketika matanya tertumbuk pada sepasang mata cokelat yang sedang memandangnya dalam hening. Ganendra masih berdiri di pintu masuk, tangannya masih memegang handle pintu kaca itu sementara matanya membaca mata cokelat yang masih memperhatikannya. Mereka saling menatap dalam beberapa detik. Di detik kemudian Ganendra terpaksa melepaskan matanya pada mata cokelat itu karena beberapa pengunjung La Côte d'Azur hendak ke luar dan menghalangi jarak pandang matanya. Di detik berikutnya lagi, mata cokelat yang memandanginya telah menghilang. Wanita berjaket jeans lusuh itu kembali menatap cangkir minuman dalam genggaman tangannya. Ganendra sempat ingin menghampiri meja wanita berjaket jeans lusuh itu sebelum ia menyadari ada cangkir lain yang terletak bersisian dengan cangkir yang barusan perempuan itu genggam. Pandangannya teralihkan pada sesosok wanita berambut panjang yang tersenyum teduh ke arahnya, memandangnya penuh sayang, semakin meremukkan niatnya untuk menghampiri sang wanita yang kini menatap derai hujan yang menerpa jendela kaca di samping tempat duduknya.

***

Selasa minggu ke empat bulan ke dua.

Bonita masih tidak mengerti mengapa setiap pukul lima sore di hari Selasa, ia selalu melangkahkan kaki menuju kedai kopi modern di tengah kota padahal sudah dua bulan pertemuan dengan klien yang meminta di desain-kan kebaya untuk hari pernikahannya hanya dikarenakan setiap Selasa, pria itu selalu berada di sana. Sebenarnya hati Bonita masih berharap kalau pria berkemeja hitam itu mau menghampirinya. Ia merasa bahwa pria itu ialah pusat permasalahan hatinya dua bulan belakangan. Setiap Selasa, tak henti dalam setiap hembusan napas dan langkah kakinya ia selalu berdoa pada Tuhan akan seseorang yang menggenggam tangannya dan menariknya dari sini. Seperti yang selalu pria itu lakukan ketika mata mereka sengaja bertemu, menarik Bonita dalam pusaran kejernihan matanya yang memabukkan.

Dua bulan ia merasakan bahwa ia telah jatuh cinta. Hanya pada pandangan pertama yang tak disengaja, kemudian pandangan-pandangan berikutnya yang tercipta karena naluri alamiahnya. Pria itu tak pernah menolak tatapan Bonita. Ia selalu membalas tatapannya, selama beberapa detik kemudian sang pria kembali fokus memandang wanita berambut panjang di hadapannya. Sesosok wanita yang tak pernah terlihat jelas oleh Bonita karena wanita itu duduk membelakanginya.

Cinta datang karena terbiasa. Begitu kata Kirana, salah satu staf di butik yang dimilikinya yang sudah Bonita anggap sebagai adiknya sendiri. Kamu datang, kamu melihat, lalu kamu jadikan semua itu sebagai kebiasaan yang akhirnya tanpa kamu sadari membuatmu merasa wajib melakukan itu tanpa ada tekanan maupun paksaan. Kamu jatuh cinta, Bonita. Begitu kata Kirana. Tak perlu Kirana memberitahunya, karena Bonita sudah menyadari itu sejak ia melihat pria itu menikmati gerimisnya.

Bonita terbiasa melihat pria itu bercengkrama dengan wanita di hadapannya setiap Selasa, selama satu jam lamanya. Ia terbiasa melihat bagaimana tatapan mata pria itu yang menguar sayang setiap ia memandang wanita itu di sofa yang selalu mereka duduki di pinggir jendela kaca besar. Bonita meyakini kalau cintanya pada pria yang bahkan ia tak ketahui namanya bertumbuh semakin besar tanpa ia sadari. Seketika harapannya muncul, menumbuhkan bunga dalam padang hatinya yang gersang, namun seketika itu pula harapannya musnah. Ada suatu batas kasat mata yang menghalangi jalan cintanya. Ia percaya pada cinta, namun cinta belum memercayakan rasa itu untuk dimilikinya. Bahkan cinta pun memiliki rasanya sendiri yang membingungkan.

***

Di hari Selasa minggu ketiga bulan ke empat, Bonita masih setia mendatangi La Côte d'Azur, nama kedai kopi modern itu yang diambil dari nama pantai indah di Perancis. Seperti biasa, ia selalu datang satu jam lebih awal dari kedatangan pria itu dan wanitanya yang selalu ditatapnya dengan penuh cinta dan sayang, tatapan yang sama seperti yang Bonita berikan pada pria itu selama beberapa detik mereka sempatkan saling memandang. Hanya memandang, dalam diam.

Seperti biasa, Bonita selalu memesan macchiato, minuman kopi favoritnya sejak bertahun-tahun. Satu jam berlalu sebelum kedatangan sang pria, satu cangkir macchiato telah habis disesapnya. Dan ketika pria itu datang, secangkir macchiato baru, kembali menemani dirinya yang duduk sendirian namun kenyataannya kini berkebalikan.

Selasa ini sangat berbeda. Langit tak menampakkan bahwa ia bersedih sore ini dan siap menumpahkan kesedihannya seperti awal mulai ia menginjakkan kaki ke kedai kopi ini. Waktu sudah menunjukkan pukul lima dan kehadiran pria maupun wanita itu pun tak terlihat sama sekali. Sedikit hati Bonita teriris memikirkan kemungkinan bahwa ia tak akan bisa melihat pria itu lagi. Setengah jam berlalu namun pria itu tak kunjung datang. Bonita duduk dalam gelisah, matanya terus memandangi pintu kaca La Côte d'Azur, mengharapkan pria itu datang seperti empat bulan yang selalu ia lakukan, namun sampai macchiato dalam cangkir kedua Bonita tandas, pria itu masih tak menampakkan batang hidungnya.

***
Selasa minggu ke empat bulan ke empat.

Bonita menunggunya seperti biasa. Lagi-lagi ia harus kecewa. Macchiato-nya tandas tanpa kehadiran pria itu di hadapannya. Ia rindu. Rindu tatapannya. Ia rindu menatap pria itu dengan cintanya yang berkobar tanpa berkeinginan untuk terpadamkan walau ia tahu, cintanya akan bertepuk sebelah tangan.

***
Selasa minggu pertama bulan ke lima.

Bonita hampir lelah menunggunya. Sudah dua minggu pria itu tak kunjung menampakkan diri di kedai kopi ini. Berbagai pikiran berkecamuk dalam otaknya. Setiap sel masing-masing dalam otaknya memberikan satu kemungkinan alasan mengapa sang pria tak kunjung datang. Bonita tidak memercayainya. Ia tak ingin berspekulasi. Tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan pria itu tak kunjung datang. Ia hanya menunggu. Hanya menunggu dalam diam. Ia menantinya dalam keputusasaan.
Cinta datang karena terbiasa. Cinta datang karena terbiasa. Ia meyakininya, namun akanah cinta juga secepat itu pergi ketika rangkaian kehidupan mulai berjalan tak biasa? 

Cinta datang karena terbiasa. Kali ini Bonita mengucapkannya berulang-ulang dalam sendu suara dan lelah penantiannya. Mengucapkannya layaknya ia mengucap mantra.

Dan seperti minggu-minggu sebelumnya, sang pria tak juga memberikan tatapan.

***
Selasa minggu ke dua bulan ke lima.

Bonita siap kali ini. Siap dengan kemungkinan terburuk apapun karena ia mulai berspekulasi. Memikirkan penyebab sang pria yang tak lagi mengunjungi La Côte d'Azur. Sudah hampir satu bulan. Sudah hampir lelah karena penantian. Bonita kini berjanji, bahwa jika hari ini sang pria benar-benar tak lagi memunculkan diri, akan disudahinya penantian. Penantian akan cintanya yang tak juga terbalaskan.

"So, kalau ternyata cowok itu akhirnya datang, lo mau ngelakuin apa Ta? Diam duduk di kursi lo kayak biasa? Nggak ada perjuangan sama sekali? Katanya lo cinta."

Bonita hanya tersenyum memandang Karina yang nampak kesal karena sikap Bonita yang hanya menunggu dan tak ada usaha untuk membangun suatu hubungan yang lebih dekat dengan pria itu.

"Rin, aku sadar siapa yang dia tatap dengan penuh cinta. Itu bukan aku, tapi cewek yang selalu duduk di hadapannya yang duduk membelakangi aku. Aku hanya ingin menatapnya Rin, seperti minggu-minggu kemarin. Setidaknya walau perasaanku tak terbalas, dengan dia aku merasakan cinta. Itu aja, cukup buatku."

***
Perlahan-lahan rinai hujan mulai turun satu-satu. Mengaburkan segerombolan manusia yang berkumpul di tengah-tengah taman kota yang sedang duduk santai menikmati senja dengan bercengkrama dengan orang-orang yang dikasihinya atau membuat sang penyendiri harus berlari menemukan tempat lainnya untuk meneruskan kegiatan melamunnya. Dalam diam Bonita menikmati pemandangan di depannya walau terhalang derai air hujan yang kini semakin lebat yang mengaburkan pandangannya karena terpaan air itu membasahi jendela besar di sampingnya. Waktu sudah menunjukkan pukul lima tiga puluh dan ia baru menghabiskan setengah cangkir macchiato. Ia masih menunggu, hatinya masih menanti, seseorang yang mengisi tatapannya membuka pintu kaca kedai ini seperti hari Selasa pertama Bonita menatapnya.

***
Setengah jam berlalu dari pukul lima tiga puluh. Bonita enggan beranjak dari tempat duduknya menuju counter, memesan kembali secangkir macchiato seperti minggu-minggu sebelumnya yang selalu ia lakukan. Alasannya karena ia telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa, jika cangkir ke dua macchiato tandas, itu merupakan batas terakhir penantiannya.

Dalam hati Bonita menghitung angka satu sampai sepuluh. Mencoba menentramkan hatinya yang dilanda keresahan luar biasa. Ini akan segera berakhir. Penantian akan cintanya akan segera berakhir malam ini juga.

Tepat hitungan ke sepuluh, Bonita mulai bangkit dari tempat duduknya hendak berjalan menuju counter namun sesuatu memaku langkahnya. Jemarinya saling ia tautkan satu sama lain dan jantungnya berdegup kencang dan semakin kencang tak beraturan. Seseorang telah mengalihkan perhatiannya karena tatapan matanya kembali terkunci. Pada satu titik yang ia sebut dengan cinta.

Pria itu masih berdiri di sana. Rambut dan tubuhnya setengah basah akibat diguyur hujan di luar. Ia masih berdiri di dekat pintu masuk dengan tangannya masih menempel pada handle pintu. Tatapannya terkunci pada satu titik berjarak lima meter di hadapannya. Matanya masih memandang pemilik mata cokelat itu. Ada kerinduan yang tersemat di dalam tatapannya yang ia coba hantarkan pada satu sosok yang terpaku di hadapannya. Wanita itu masih berada di sana. Berada di kursi yang sama seperti sebelum-sebelumnya. Sudut matanya menangkap bahwa hanya ada satu cangkir di atas mejanya dan wanita itu sepertinya hendak pergi. Ia ingin menghampiri wanita itu dan mengatakan jangan pernah pergi karena ia terlalu rindu. Rindu melihat tatapan indah lewat bulu mata lentiknya yang nyata ditujukan kepadanya.

Wanita lain yang sedang menyesap jasmine tea menatap sang pria yang berdiri di pintu masuk dan dengan jelas melihatnya bahwa ia sedang menatap wanita itu. Wanita yang setiap Selasa duduk di kursi yang sama yang selalu memperhatikan mereka berdua atau mungkin hanya memperhatikan sang pria saja. Wanita itu tahu benar apa arti tatapan mata keduanya. Kerinduan.

***
Bonita
Sebuah suara yang nyaring mengagetkanku. Mengganggu tatapanku pada dirinya yang ku rindu. Ada nama yang tersemat dalam teriakan nyaring itu. Ganendra. Itukah namanya?

Ganendra
Conchita memanggil namaku dengan amat kencang. Mengganggu tatapan mataku yang menatap mata cokelat wanita itu. Sedetik tatapanku teralihkan dari mata cokelat itu ke arah Conchita yang kini memotong pendek rambut panjangnya. Detik berikutnya kuputuskan untuk menatap wanita bermata cokelat itu dan ternyata dia masih menatapku!

Bonita
Ternnyata wanita itu yang memanggil namanya. Wanita yang sama seperti minggu-minggu sebelumnya yang selalu menemani pria itu namun bedanya sekarang wanita itu telah memangkas rambut panjangnya sehingga aku agak pangling mengenalinya. Mataku seakan tak bisa berhenti memandang pria itu, pria yang mungkin saja bernama Ganendra. Tak ku duga ia kembali menatapku. Rasa senang, sedih, rindu, seakan bercampur menjadi satu. Ku harap dia mengetahuinya karena aku telah mengirimkan semua rasa itu lewat tatapan mataku. Dan, ya! Dia mengetahuinya.

Ganendra
Tatapannya kini seperti mengandung bermilyar makna. Anehnya aku merasakan sesuatu yang menghangatkan hatiku.

Bonita
Entah keberanian dari mana aku melangkah dari tempatku berdiri dan menghampirinya. Ya! Menghampiri pria itu!

Ganendra
Wanita itu menghampiriku. Bodoh kalau aku diam saja seperti patung di sini!

Bonita
Dia melangkah. Entah kepada wanita itu atau ia...

Ganendra
Hai.
Satu kata bodoh yang aku ucapkan pada wanita bermata cokelat itu. Sebenarnya aku ingin saja mengatakan bahwa aku merindukan dirinya, tapi apakah itu cukup normal dikatakan pada orang yang baru saja berkenalan? Ah, bahkan berkenalan pun belum!

Bonita
Aku merindukanmu.
Ya, katakan kalau aku gila tapi aku benar-benar mengatakan ini pada dirinya!

Ganendra
Ia berkata bahwa ia merindukanku? Bagaimana bisa kami memiliki perasaan yang sama?!
Ya, aku juga! Sorry tapi adikku sedang duduk di sana menunggu. Kalau kamu mau kamu bisa gabung.
Kataku akhirnya.

Bonita
What?!! Ternyata itu adiknya?! Oh Tuhan terima kasih. Terima kasih banyak.


Bonita menggeleng namun bibirnya tak henti untuk terus tersenyum. Sejenak pria itu menatap Bonita heran.
Temui aku besok pagi di sini tepat pukul sepuluh. Have fun with your sister ya.

***
Bonita melenggang lega dan nyatanya ia keluar dari La Côte d'Azur. Meninggalkan cangkir macchiato yang sudah tandas dan tak jadi kembali ke counter untuk memesan cangkir keduanya.

Ia tahu, ia telah mengambil risiko yang begitu besar. Bisa saja tadi ia ikut bergabung dengan Ganendra dan adiknya dan mempermudah suatu hubungan yang hanya terjalin lewat tatapan mata namun ia tidak melakukan itu. Ia sengaja memberi pilihan bagi Ganendra dan bagi dirinya sendiri.

Jika benar Ganendra adalah seseorang yang dipilihkan Tuhan untuk dirinya, Rabu akan jadi hari terindah dalam hidupnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar