Minggu, 24 Februari 2013

Sacramento Chapter 1

Apa lagi sih yang Prue inginkan dalam hidup ini?

Prue Jasmine Rahadian. Perempuan mapan berusia 27 tahun, pemilik Sacramento Cafe and Library, berwajah campuran antara Kanada, Indonesia, dan China, berambut cokelat perunggu, berkulit putih, tinggi semampai, dan yang jelas (ini yang paling penting!) tunangannya sekarang ialah Marco Hegaz. Siapa yang tidak kenal lelaki tampan berdarah Spanyol itu? Hampir semua orang di negara ini mengetahui keberadaannya sebagai salah seorang putra pengusaha nomor satu Indonesia yang menjalankan usahanya di bidang properti dan perumahan elite sekaligus pewaris tunggal atas seluruh kekayaan yang keluarganya miliki.

Prue menikmati harinya sebagai pemilik Sacramento. Dia memang bukan perempuan yang pandai memasak ataupun meracik minuman. Dia seorang pecinta buku dan ingin membuat masyarakat juga mencintai buku sama seperti dirinya dengan dibangunnya Sacramento ini. Berbagai koleksi buku dari mulai buku sejarah, politik, budaya, ekonomi, bahkan buku dongeng anak, novel, maupun komik dapat ditemukan di ruangan seluas enambelas meter persegi di bagian belakang Sacramento. Sangat luas dan memang seperti perpustakaan, bedanya para pengunjung dibebaskan untuk membaca buku di tempat sambil dapat menikmati secangkir latte atau sepotong croissant hangat.

Prue membebaskan semua pelanggannya, tak mengekang mereka dengan aturan bahwa tidak boleh meminjam buku, tidak boleh makan di perpustakaan, tidak boleh berisik, dia membangun perpustakaannya dengan aturannya sendiri dan Sacramento tak pernah sepi pengunjung. Dari mulai pelajar SD, SMP, SMA, mahasiswa, pekerja kantoran, bahkan ibu rumah tangga turut serta meramaikan Sacramento milik Prue dan Prue sangat bahagia melihat banyaknya pengunjung yang mampir ke kafe-nya dan menikmati lembar demi lembar buku yang mereka pilih sendiri. Ia bahagia melihat sekelompok anak muda yang tengah berdiskusi di sudut sedang sibuk melakukan bedah buku mini dengan kelompok kecilnya, melihat ibu muda yang sedang membacakan cerita Putri Salju untuk anaknya, atau beberapa pasangan muda yang masing-masing tenggelam dalam lautan kata-kata di tangannya. Ah.. melihat mereka Prue jadi sedikit iri. Andai ia juga dapat melakukan hal seperti itu bersama Marco, pasti dia bahagia sekali.

Sebagai seorang CEO di salah satu anak perusahaan besar yang dimiliki ayahnya, waktu Marco untuk bersantai sekedar menikmati kopi atau teh saja sangat sulit. Hidupnya bergerak ritmis, cenderung monoton. Menghadiri satu meeting di tempat A, kemudian pindah ke meeting lain di tempat B, lalu pindah ke meeting di C, D, E, dan seterusnya, waktunya habis untuk bekerja dan jarang ia bisa habiskan dengan berduaan saja dengan Prue. Untungnya Prue bukan wanita lemah yang apa-apanya harus ditemani oleh Marco. Prue adalah seorang yang mandiri, yang bahkan tanpa Marco pun sebenarnya dia merasa baik-baik saja.

*** 
Pernikahannya dengan Marco hanya tinggal menghitung hari. Namun selama kurang lebih enam bulan ia menyiapkan pernikahan pertamanya tersebut, hanya beberapa kali Marco bersedia menyempatkan waktunya untuk memilihkan Prue gaun pengantin yang cantik dan melakukan beberapa kali fitting jas pernikahannya. Untuk urusan selain dari itu, selebihnya hanya Prue yang mengaturnya. Aku percaya padamu Prue, kata Marco kala itu.

Prue berlari lincah dalam lingkaran persiapan pernikahannya. Dari mulai memesan katering, memilih undangan dan souvenir, menentukan tema pernikahan, menyewa wedding organizer yang berkelas, menentukan tempat resepsi, semua Prue yang mengaturnya. Terkadang, sempat ia berpikir dalam hatinya, apakah ia sedang merencanakan pernikahan sendiri? Pernikahan yang hanya terdapat satu mempelai yang berdiri di depan pendeta. Namun sesegera mungkin ia menepis pemikirannya tersebut. Menjalani hubungan dengan Marco, inilah konsekuensi yang harus diterimanya.

Guratan kemerahan mulai muncul perlahan-lahan dari ufuk barat. Menjadikannya pertanda halus akan datangnya sebuah gulita. Prue meninggalkan mejanya yang terletak di sebelah dapur Sacramento dan menutup jendela di sebelahnya, menghalau angin senja yang sering membuatnya kedinginan. Ia menutup lamunannya dan kaki jenjangnya melangkah memasuki kafe yang semakin ramai oleh pengunjung. Matanya yang berwarna cokelat muda berkelana ke segala arah, menikmati pemandangan yang setiap sore terjadi di kafenya. Menjadikannya sebuah memori yang mengisi ruang dalam otaknya yang masih kosong. Memori mengenai Sacramento, karena ia tidak yakin jika ia telah menjadi Nyonya Hegaz kelak, apakah ia masih bisa menjalani hari-harinya seperti biasa.

Kepala Prue bergerak refleks mencari sumber suara yang berteriak memanggil pelayan. Matanya menangkap sesosok pria berkaca mata minus yang sedang duduk di sofa samping jendela. Tangannya terangkat ke atas, raut wajahnya terlihat sebal, kentara sekali kalau pria itu tak juga dilayani setelah beberapa menit ia duduk di sana. Sedetik kemudian Prue mendekat ke arah pria itu. Mengeluarkan catatan kecil dan sebuah pulpen yang selalu ada di kantong belakang celana jeans-nya.

"Halo selamat sore. Selamat datang di Sacramento, ada yang bisa saya bantu?" tanya Prue sopan. Pria itu memandang Prue dari atas hingga bawah, masih menatapnya dengan tatapan sebal. Buku menu yang terletak di hadapannya, ia acuhkan. 

"Hot americano satu." Jawab pria itu. Prue segera mencatat pesananya, kemudian ia tersenyum profesional pada pria itu seraya mengatakan, "Baik, saya ulangi lagi pesanannya. Hot americano satu. Apa ada yang lain?"

Pria itu menggeleng, kemudian sibuk dengan Ipad di tangannya. Prue mengangguk sekali lagi, mengucapkan terimakasih sebelum ia pergi ke counter untuk menyerahkan kertas pesanan itu kepada baristanya.

*** 
Prue mengamati pria itu dari balik counter. Memakai kemeja yang setengah kusut, dengan kedua lengannya digulung hingga siku. Matanya tak lepas dari layar selebar 9,7 inchi itu. Entah ada apa di sana sehingga pria itu tampak serius sekali bahkan saat seorang pelayan menghantarkan hot americano pesanan sang pria itu, ia tak memedulikannya. 

Pria itu tersenyum. Sebuah senyuman tipis yang melingkupi bibirnya. Mungkin ada hal yang menarik dalam layar datar berbentuk persegi panjang itu, atau hal-hal yang lucu, atau bahkan dia sedang chatting dengan seseorang sehingga ia lupa hot americano-nya, seseorang yang spesial. Prue meyakini itu. 

Mata Prue seolah-olah tak bisa terlepas pada sosok di hadapannya yang kini tengah meneguk cangkir berisi hot americano yang beberapa menit lalu dipesannya. Ia meletakkan Ipad-nya di atas meja. Mengurut pelipisnya dan mengeluarkan sekotak rokok putih dari dalam saku celananya. Tangan kanannya sibuk mencari-cari. Bergerak ke saku samping celananya, kemudian pindah ke belakang, lalu ke saku kemejanya. Tak menemukan apa yang ia cari, pria itu mengangkat ransel hitamnya yang terletak di sebelahnya. Setelah menghabiskan menit mencari pria itu melempar kotak rokoknya ke atas meja dengan frustasi. Prue tahu apa yang pria itu butuhkan.

"Butuh ini?" Sebuah tangan terulur ke arah pria itu. Pria itu mendongak, menatap Prue yang sedang tersenyum ke arahnya.

"Well, thanks." Ujar pria itu sambil meraih lighter yang disodorkan oleh Prue. Ia mengambil sebatang rokok dari kotaknya, kemudian menggunakan lighter ia menyalakan rokoknya. 

"Rokok?" tanya pria itu basa-basi. Prue berada dalam kebimbangan. Ia hanya sekali pernah menghisap rokok dalam hidupnya dan langsung batuk-batuk. Jika ia menolak untuk menerima tawaran pria itu, maka tak ada kesempatan baginya untuk duduk di sini, di hadapannya. Jadi ia memutuskan, ia akan menerima tawaran rokok tersebut yang padahal ia tahu kalau pria itu hanya berbasa-basi terhadapnya.

"Boleh.." Prue mengambil sebatang rokok dari dalam kotaknya. Dengan sedikit gemetar ia menyalakannya. Tenggorokannya gatal bukan main, ia ingin batuk tapi berusaha ditahannya sekuat tenaga. Prue menarik kursi di hadapan pria itu kemudian duduk di sana. Menjepit batang rokoknya dengan jemari lentiknya seolah ia memang seorang perokok profesional.

Pria itu memandanginya. Percampuran antara kaget, aneh, dan heran. Tawaran basa-basinya ternyata dianggap serius oleh perempuan ini. Kemudian tawanya meledak, mengeluarkan asap tipis dari dalam mulutnya. 

"Saya tahu kamu bukan perokok. Sini," pria itu mengambil rokok yang terselip di jari tangan Prue kemudian mematikan baranya di atas asbak. Prue menatapnya heran, kemudian tanpa bisa ditahan ia langsung batuk-batuk. Tersiksa sekali sampai wajahnya memerah. Pria itu menyodorkan cangkirnya pada Prue yang tanpa berpikir lagi, Prue langsung menghabiskan isi dari cangkir itu. Setidaknya hot americano yang perlahan mulai menjadi dingin sedikit membuat batuknya reda. Prue tersenyum, malu.

"Gimana? Udah baikan?" tanya pria itu. Prue mengangguk. Belum pernah ia merasa semalu ini kepada laki-laki. Terlebih laki-laki itu baru dikenalnya. Ralat! Bahkan ia belum berkenalan dengan pria ini!

"Saya Dion," tangan kanan yang dipakai mengapit rokok pria itu terulur, sementara rokoknya ia selipkan di bibir. Prue membalas uluran tangannya dan saat tangan mereka menempel seperti ini, seperti ada sesuatu yang aneh yang memberi efek kejut pada diri Prue. Dadanya berdebar.

"Prue." jawab Prue. Tangan mereka masih saling menjabat. Masih saling menempel seakan tak ingin terlepas satu sama lain. Terdengar klasik memang tapi itulah yang terjadi pada mereka.

"Ehm.." Prue mengambil inisiatif untuk melepaskan tangannya terlebih dulu. Pria itu nampak salah tingkah.

"So, Prue. Kamu itu pemilik Sacramento?" Dion menjetikkan rokok itu ke dalam asbak, membuang abunya. Sebuah kalimat yang pantas disebut pernyataan daripada pertanyaan. Jika Dion tahun kalau Prue adalah pemilik Sacramento, berarti dia pengunjung lama kafe ini. Kenapa Prue tak pernah sadar?

"Ya, bisa dikatakan begitu. Ehm, sebentar, saya pesankan Hot Americano untuk kamu, tadi kan saya yang minum.." Prue sudah mau beranjak dari kursinya namun tangan Dion menyentuh lengannya.

"Nggak usah Prue, sebentar lagi saya juga pulang."

Sebentuk perasaan sedih tiba-tiba saja muncul. Jadi, pria ini akan pulang? Kenapa hatinya jadi begitu sedih? Ia bahkan belum sempat mengobrol apapun dengan pria ini!

"Maaf ya, saya memang bukan perokok. Tadi itu..." Aku melakukannya supaya bisa duduk denganmu. Prue melanjutkan kalimatnya dalam hati. Tak berani.

"Nevermind Prue, lagian saya tahu kamu bukan perokok. Dari cara kamu pegang dan menghisapnya saja terlihat. Muka kamu sampai merah-merah begitu tadi.." Dion tersenyum ke arah Prue. 

"Prue, pasti ada alasannya kan kamu menghampiri saya selain untuk lighter ini?" Dion mengacungkan sebuah lighter berwarna perak ke hadapan Prue.

Prue tergagap, tak menyangka bahwa maksudnya terlihat jelas dimata Dion. Ah, apakah tadi pria ini memerhatikannya ketika Prue mengamati Dion dari balik counter?

Prue menghela napas. Menyusun kata-kata paling tepat dalam benaknya.

"Saya... nggak tahu Dion, tiba-tiba saja saya penasaran sama kamu. Dan, jujur, saya sendiri bingung kenapa saya bisa seperti ini.."

Dion tersenyum. Ia mematikan rokoknya yang masih sisa setengah. Dipandanginya Prue dalam-dalam membuat jantung Prue berdetak kencang. Belum pernah Prue merasakan hal ini. Belum pernah seorang pria mampu membuatnya kalang kabut seperti ini. Belum pernah seumur hidupnya Prue menghampiri laki-laki dan berpura-pura menawarkan lighter sebagai basa-basi murahan. Belum pernah ia merasa semurah ini sebagai perempuan!

"Sebaiknya saya pergi saja," Prue hendak berdiri namun pria itu lagi-lagi mencegahnya.

"Saya.. sebaiknya saya saja yang pergi.."

Dion membereskan barang-barang yang tergeletak di meja dan memasukkannya dengan tergesa-gesa ke dalam tas. Ia bangkit dari kursinya, sebelum meninggalkan Prue, dia sempat tersenyum. Senyum yang sama saat Prue melihat pria itu tersenyum pada layar monitor 9,7 inchi-nya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar