Minggu, 17 Februari 2013

Kawat Gigi Merah

Lima menit berlalu setelah petugas stasiun meniup peluitnya pertanda akan ada kereta yang datang. Jarum jam di stasiun tepat menunjukkan pukul delapan lewat lima. Semua orang bergegas masuk, berdesak-desakkan dengan manusia lain yang hendak turun dari kereta, saling sikut, sling tendang, saling melotot penuh rasa emosi. Semua itu hanya demi satu tujuan. Agar dapat tempat duduk, persoalan nanti jika diharuskan berdiri karena ada ibu-ibu hamil atau orang lanjut usia yang diberi prioritas duduk bisa lain cerita. Jurus-jurus seperti pura-pura tidur, pura-pura tidak peduli, atau bahkan pura-pura buta lumayan dapat membuat dudukmu nyaman sampai stasiun terakhir.

Aku naik susah payah sepersekian detik saat pintu kereta yang akan membawaku ke Kota dari Stasiun Bogor akan menutup. Menelusupkan tubuhku diantara banyak orang yang lebih memilih berdiri di arah pintu masuk gerbong daripada menggumpal di tengahnya. Tubuhku meringsek, membuka jalur, hendak bergerak ke gerbong satu, gerbong khusus wanita, karena gerbong yang kuberada sekarang jelas-jelas penuh dengan segerombol bapak-bapak tambun yang pura-pura tidur di kursi panjang isi delapan yang sudah penuh dan belasan anak muda, berprofesi sebagai mahasiswa, pegawai pemda, karyawan, sales, bahkan ada segelintir eksekutif muda berpakaian necis yang berdiri di antara gerbong sebelah, sibuk dengan gelas kertas berisi cokelat panas atau mungkin kopi di dalamnya, yang lainnya sibuk membolak-balik halaman harian Kompas.

Aku bergerak semakin lincah demi meluncur segera ke gerbong satu, namun entah karena aku yang bodoh atau apa tubuhku menabrak bahu seseorang yang sedang berpegangan pada pegangan kereta di atasnya. Ia menoleh ke arahku dengan tatapan bingung. Aku salah tingkah, kemudian tersenyum tak enak. Menyuarakan kata-kata maaf kemudian tanpa ia membalas pernyataanku, kaki ini sudah bergerak kabur menuju gerbong wanita.

***

Satu setengah jam diri ini dibuat pepes di dalam kereta. AC mati, gerbong penuh sesak, semua orang saling berebut oksigen untuk bertahan hidup tak terkecuali diriku. Ya mungkin sekarang kondisiku sudah jelek dan dekil sekaligus bau akibat keringat deras yang tak hentinya mengucur. Ah, kenapa jadi begini?! Niatku untuk naik kereta kan untuk menghemat waktu agar cepat sampai kawasan Fatahillah, sebuah acara bertema Art and Culture digelar di sana. Sebagai seseorang berjiwa seni dan berbudaya tinggi, acara semacam ini wajib untukku!

Akhirnya kereta ini berhenti di stasiun paling akhir. Stasiun Kota tak ubahnya seperti stasiun tua layaknya stasiun-stasiun lain di daerah Jabodetabek. Keadaannya riuh, bukan hanya oleh penumpang kereta namun oleh beberapa petugas yang hilir mudik, beberapa pedagang asongan yang terhenti di depan pintu stasiun karena tidak diperkenankan untuk masuk. Kakiku melangkah ke arah antrian keluar yang panjang. Menunggu dengan sabar petugas yang mengambil tiket-tiket kami. Saat tiba giliranku, aku menyerahkan tiket itu dan langsung berjalan cepat menuju sebuah lorong yang terletak di bawah tanah, memantapkan langkah menuju Fatahillah.

***

Sudah banyak yang berkumpul di depan museum paling terkenal se-Jakartaraya. Berbagai orang yang mengenakan kostum aneh dan lucu pun mulai bertebaran. Di ujung barat sana beberapa sedang asyik melukis tubuhnya, sebuah seni yang indah yang dinamakan body-painting. Di sudut lainnya nampak asyik duduk lesehan, para orang tua mengenakan surjan dan blangkon, ditemani alunan gending jawa sederhana dan segelas kopi hitam. Asap cerutu mengepul dari bibir-bibir kering mereka. Saling tertawa, bercerita. Begitu bertolak belakang memang, satu sisi acara ini menampilkan modernitas di sisi lain tetap melestarikan nilai-nilai tradisional yang seakan tak pernah tergerus oleh jaman.

Sebuah panggung besar diletakkan di sisi kanan Museum Fatahillah. Di panggung ini rencananya akan menampilkan sebuah aksi teatrikal tentang kisah Rama dan Sinta yang dipadukan dengan pergelaran seni budaya se-Indonesia, dari tua, muda. Anak kecil, orang dewasa. Semua turut serta. Dan acara ini merupakan saluran pelampiasan kejenuhan yang efektif, karena acara ini gratis untuk semua pengunjung ditambah acara ini digelar di kawasan tempat seluruh lapisan masyarakat dapat berkumpul, tak ada penghalang, tak ada batasan. Tak ada si kaya yang berdandan perlente atau menggoyang-goyangkan gelang Prada-nya, berpura melirik jam merek Tag Heuer, atau pura-pura kecapekan dan menggoyangkan kakinya yang indah berbalut Louboutin keluaran terbaru. Di sini semua orang menjadi dirinya sendiri. Memakai sendal jepit kumuh pun tak akan ada yang peduli. Oleh karena itu, acara semacam ini wajib untukku. Seakan mengembalikanku pada realita bahwa aku masih manusia.

Perlahan-lahan namun pasti senja mulai menjejak angkasa. Semburat jingganya menjadi pertanda bahwa akan ada gulita yang siap dihantarkan. Sesungguhnya hitam tak akan mengagetkan sebab jingga sudah memberi pertanda akan kemunculannya. Aku masih berputar-putar di area ini. Pindah dari satu gerai ke gerai  kecil lain. Mengobrol bersama, menceritakan apapun, tentang apapun. Namun ada satu gerai yang belum sempat ku datangi karena malam sudah menampakkan jiwanya yang penuh dan gemerlap warna-warni lampu panggung menandakan bahwa pertunjukkan akan segera dimulai.

Diriku mencari lahan yang tidak terlalu penuh penonton. Mengeluarkan selembar kertas koran yang ku bawa dari rumah dan duduk di atasnya. Mataku fokus menatap panggung yang kini diisi dengan pertunjukkan Tari Topeng Betawi sebagai pembuka. 

Beberapa menit berlangsung pandanganku terhalang oleh dua kaki yang berdiri tepat dihadapanku. Ah, apakah orang tersebut tidak melihat bahwa ada aku yang sedang duduk di belakangnya dan menikmati tari-tarian itu?!

"Mas.. Permisi Mas, saya nggak kelihatan," ujarku pada si Mas-mas berbaju abu-abu muda yang berdiri di hadapanku. Mas-mas itu tetap bergeming. Mungkin suaraku terlalu kecil untuk didengar akibat riuh rendah suara tepuk tangan penonton dan musik yang begitu mendominasi indra pendengar.

"Mas, permisi Mas!" sentakku yang nyatanya tak membuat sesosok lelaki tersebut bergeser dari tempat ia berdiri. Ah sungguh membuat kesal saja! Niat untuk cari hiburan kok malah disuguhi dua kaki panjang berbalut celana jeans hitam yang tak juga gerak-gerak ini. Apa dia patung?!

Kekesalanku semakin memuncak akibat orang di hadapanku ini tak juga bergeming. Ku putuskan untuk bangkit dari dudukku dan menepuk pundaknya, menyuruhnya untuk segera menyingkir.

"Mas!" panggilku sambil menepuk pundaknya. Mungkin karena kaget, ia langsung menoleh. Ditatapnya mataku dengan raut wajah bingung. Membuatku juga sedikit kaget. Dia...

"Kamu yang nabrak saya di kereta?" tanyanya langsung. Aku tergagap, bingung.

"Eh, em. Iya.." jawabku cengengesan sambil berniat kabur namun lelaki itu bertanya lagi, "Kamu ngapain nepuk-nepuk bahu saya barusan?"

"Oh.. itu, ehm.." Aku bingung menjawab, merasa tak enak jika ku katakan bahwa ia menghalangi pandanganku dan ingin ia menyingkir dari hadapanku saat ini juga. Ia langsung menegerti saat tak sengaja matanya menangkap selembar koran yang mulai lecek akibat diduduki yang berada di belakangnya.

"Kamu duduk di situ tadi? Saya menghalangi kamu nonton?"

Aku mengangguk, malu. Bukan apa-apa, ternyata jika dilihat-lihat mas-mas yang kutaksir usianya jauh lebih muda dibanding diriku yang mulai mencapai kepala tiga sebulan lagi, ternyata lucu juga. Wajahnya putih bersih seperti wajah bayi. Hidungnya mancung dan alis yang menaungi ke dua matanya tebal dan hitam. Kumis dan janggut tipis menghiasi wajahnya. Baby face sekaligus terlihat dewasa. Unik. Ah, ya aku baru sadar bahwa dirinya memakai kawat gigi!

"Oh, eh, itu, saya bisa pindah kok.." Aku buru-buru mundur ke belakang, berencana melipat lembaran koranku yang kusut itu.

"Eh jangan!"

Suaranya mengagetkanku.

"Kamu nonton sendiri?" tanyanya kemudian. Aku mengangguk lagi, bingung.

"Saya temani kamu nonton di situ boleh?"

Ah.. kuperhatikan wajahnya lekat-lekat, saat bibirnya terbuka untuk berkata-kata terlihat jelas bahwa ternyata kawat giginya berwarna merah. Lucu sekali.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar